Dari Santri untuk Negeri: Nasionalisme dalam Iman dan Ilmu

1 month ago 21

loading...

Menjadi santri di era modern bukan sekadar menuntut ilmu agama, tetapi juga mengemban amanah besar: menjaga, mencintai, dan membangun negeri. Foto/SINDOnews.

Anas Rizal
Biro Publikasi Universitas Darunnajah

Menjadi santri di era modern bukan sekadar menuntut ilmu agama, tetapi juga mengemban amanah besar: menjaga, mencintai, dan membangun negeri. Santri adalah pewaris semangat perjuangan ulama yang tidak hanya berperang di medan fisik, tetapi juga di medan pemikiran dan moral. Di balik sorban, sarung, dan kitab kuning, tersimpan semangat kebangsaan yang membara, semangat yang tumbuh dari iman, ilmu, dan cinta Tanah Air.

Sejarah Indonesia mencatat peran luar biasa kaum santri dalam memperjuangkan kemerdekaan. Dari pesantrenlah lahir para tokoh pejuang, seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Ahmad Dahlan, KH. Wahid Hasyim, dan banyak lainnya. Mereka tidak hanya mengajarkan tafsir dan fiqih, tetapi juga menanamkan nilai keberanian, tanggung jawab, dan cinta tanah air. Seruan jihad fi sabilillah pada 22 Oktober 1945 yang dikeluarkan KH. Hasyim Asy’ari menjadi bukti bahwa cinta tanah air bagi santri bukan sekadar ucapan—melainkan pengorbanan.

“Hubbul wathan minal iman” — Cinta tanah air adalah sebagian dari iman.

Pesan ini mengandung makna mendalam: nasionalisme bukan sekadar ide politik, tetapi nilai spiritual yang berakar dari keimanan. Santri mencintai negeri ini karena Allah memerintahkan untuk menjaga kehidupan, menegakkan keadilan, dan menebar manfaat bagi sesama.

Al-Qur’an menegaskan dalam surah Al-Qashash ayat 77:

Read Entire Article
Prestasi | | | |