loading...
Ekonom mengungkapkan alasan Vietnam lebih menarik buat investasi dibandingkan Indonesia. FOTO/iStock Photo
JAKARTA - Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengungkapkan sejumlah masalah yang menghambat investasi di Indonesia, terutama jika dibandingkan dengan Vietnam, salah satunya premanisme. Keberadaan preman di kawasan industri menciptakan ketidakpastian bagi para investor.
"Premanisme tidak bisa ditolerir. Perlu tindakan tegas dari negara untuk mengatasi masalah ini. Kita perlu shock therapy untuk memberantas premanisme di kawasan industri," ujar dia dalam sebuah diskusi online yang berlangsung pada Jumat (2/5).
Menurutnya premanisme sebagai salah satu isu utama yang merusak iklim investasi. Selain premanisme, masalah perizinan usaha yang masih menyulitkan pelaku usaha berdampak negatif pada iklim investasi.
Tak hanya itu, sektor keuangan juga menjadi perhatian. Ia mencatat tingginya net interest margin perbankan yang menyebabkan kredit menjadi mahal dan sulit diakses.
"Pengembangan pasar modal sangat penting untuk menciptakan persaingan sehat dengan sektor perbankan, menurunkan suku bunga, dan menyediakan alternatif pembiayaan jangka panjang," ujar dia.
Di sisi lain, pihaknya juga menyoroti praktik manipulasi Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) yang banyak dimanfaatkan untuk kepentingan rent-seeking. Ia mencontohkan sektor elektronik, di mana praktik impor barang dari luar negeri dengan hanya mengganti kemasan dianggap memenuhi syarat TKDN. "Praktik seperti ini justru merusak daya tarik investasi yang berkualitas di Indonesia," jelasnya.
Dia pun menekankan pentingnya keseriusan dalam menyusun kebijakan terkait perjanjian perdagangan bebas, insentif pajak, dan pemberantasan ekonomi informal. Ia mencatat bahwa sektor ekonomi informal di Indonesia mencapai lebih dari 15% dari PDB, yang merugikan penerimaan negara dan industri nasional.
Ia menekankan perlunya kepastian hukum dan pengaturan tenaga kerja asing yang lebih baik. Ia juga mengingatkan pentingnya pengelolaan BPJS Ketenagakerjaan yang bebas dari politisasi dan intervensi.
"Di banyak negara, masalah ini sudah tuntas sejak lama, sementara kita masih berjuang. Ini adalah jaring pengaman bagi para pekerja," katanya.
Terakhir, ia menyoroti tingginya biaya logistik akibat manajemen yang buruk dan infrastruktur yang belum optimal. Ia menegaskan bahwa untuk bersaing dengan Vietnam, Indonesia perlu melakukan deregulasi besar-besaran dengan strategi yang konkret. "Kita harus mengejar mereka dengan pendekatan neck to neck, eye to eye," tutupnya.
(nng)