loading...
Adjat Wiratma. Foto/Istimewa
Dr. Adjat Wiratma, MPd
Doktor Manajemen Pendidikan, Dosen Tetap Pascasarjana Universitas Panca Sakti Bekasi
TEMUAN ratusan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Buleleng, Bali yang tidak bisa membaca dengan lancar adalah satu dari banyaknya kenyataan di Republik ini bahwa pendidikan kita masih dijalankan ala kadarnya. Ketika itu terjadi, pertanyaan yang muncul adalah siapa yang disalahkan?
Saat mutu pendidikan buruk, paling mudah untuk menjawab pertanyaan itu adalah menunjuk guru yang bertugas dan berkewajiban menjalankan pengajaran. Guru kita secara kompetensi memang masih banyak yang harus ditingkatkan. Kalaupun demikian, sudahkan bangsa ini memiliki kemauan untuk memajukan guru, atau mereka hanya dibuat sibuk untuk menyukseskan program-program tahunan yang berganti tiap pemerintahan.
Pembangunan guru belum dilakukan secara serius, mulai dari hulu hingga hilir. Padahal, pengakuan atas jasa guru dalam mendidik dan mencerdaskan bangsa tak cukup hanya diucap. Peningkatan kesejahteraan guru, baik melalui sertifikasi, pelatihan, maupun kondisi kerja yang layak, merupakan hal yang penting yang harus dipenuhi negara untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Guru perlu terus-menerus ditingkatkan kompetensinya, termasuk dalam menghadapi tantangan teknologi digital dan kecerdasan buatan, tidak cukup diminta dalam imbauan untuk belajar sehari dalam sepekan.
Ironisnya, pengelola pendidikan kerap asyik dengan pemikirannya sendiri, seolah kebijakan yang dibuat telah dan akan menjadi yang terbaik bagi citra pendidikan. Bahkan, ganti menteri ganti kebijakan jadi hal yang lumrah, seperti itulah pendidikan kita hari ini. Walau wajahnya selalu muram. Mengutip temuan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait skor Survei Penilaian Integritas (SPI) pendidikan 2024 yang hanya 69,50 persen. Salah satu indikator yang menjadi penilaian dalam surveyi itu adalah kejujuran akademik. Tercatat 78 persen siswa sekolah dan 98 persen mahasiswa di kampus nyontek. Kemudian praktik gratifikasi di sektor pendidikan dinilai wajar, setidaknya hasil survei itu tidak menunjukan pendidikan ini mampu melahirkan karakter Pancasila.
Gonta-ganti Kebijakan
Dalam satu dasawarsa, pada masa dua kepemimpinan presiden, beragam kebijakan digulirkan silih berganti. Ujian dalam penyelenggaraan pendidikan pernah bangsa ini alami saat Pandemi Covid-19 melanda. Gagapnya pemangku kebijakan dalam menjawab tantangan di masa itu, telah berdampak pada perjalanan pendidikan baik dari sisi kuantitas dan juga mutunya hingga hari ini. Di saat pendidikan kita tidak sepenuhnya pulih, pemerintah memilih opsi ganda dalam penjalankan pendidikan, seperti pengajaran tanpa evaluasi yang pasti dan penerapan kurikulum alternatif yang pelaksanaannya parsial. Saat tahap sosialisasi kebijakan belum sampai ke tingkat bawah, kini prioritas telah berubah.
Sebut saja program prioritas Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) yang disusun memasuki 2025 ini, yakni redistribusi guru ASN ke sekolah swasta, Pembaharuan sistem pengelolaan kinerja guru, kepala sekolah, dan pengawas sekolah, lalu transformasi Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB), penguuatan karakter melalui tujuh kebiasaan Anak Indonesia Hebat, pendekatan pembelajaran mendalam (deep learning), pelajaran coding dan kecerdasan buatan, serta sistem evaluasi tes kemampuan akdemik (TKA). Penyusunan prioritas itu pun seolah hal mengubur program-program sebelumnya yang pada periode terdahulu digadang-gadang sebagai unggul.
Pendidikan Indonesia harus dilihat secara menyeluruh, tidak hanya bicara kota, tetapi juga desa. Tidak hanya bicara kewenangan pemerintah pusat, tetapi juga kemampuan daerah dalam mengelola pendidikan kerap menjadi kendala dalam memajukan pendidikan. Dalam praktiknya, pendidikan juga masih dijalankan dengan kelas-kelas yang membuat kesenjangan dalam pelayanan dan kualitas pengajaran. Menjadi penting bagi kita untuk membangun pendidikan secara inklusif, pendidikan untuk semua, dengan memprioritaskan daerah-daerah yang benar-benar belum maju selama ini.
Ibarat seperti murid, mereka yang menjalankan kekuasan dalam pembangunan pendidikan masih terus belajar melahirkan solusi atas masalah, pemikiran yang mendasari kebijakan masih banyak yang sebatas gagasan idealis tanpa melihat kondisi lapangan secara realistis. Harapan agar pembangunan sumber daya manusia dengan pendidikan sebagai pilar utama, jauh panggang dari api. Kita pun akan selalu dihadapkan pada wacana yang sama, sepanjang banggsa ini belum sepakat tentang arah serta dengan cara apa pendidikan ini akan dituju
Peringkat dan Peta Jalan Pendidikan
Data Human Capital Indeks (HCI) Bank Dunia pernah mencatat kualitas potensi Sumber Daya Manusia Indonesia yang dinilai masih kalah jauh dari negara di ASEAN, seperti Singapura, Malaysia, Vietnam, dan Thailand. Indonesia menduduki peringkat 96 dari 173 negara. Malaysia saja, yang dulu pernah impor guru-guru dari Indonesia sudah berada di peringat 62. Sekadar mengingat, pada tahun 1968 dan 1970-an, banyak guru Indonesia yang diminta untuk mengajar di Malaysia, mulai dari guru SD, SMP, hingga SMA. Guru-guru tersebut ditugaskan memperbaiki pendidikan peninggalan Inggris yang dinilai usang.
Visi pendidikan Malaysia, tertuang dalam Filsafat Pendidikan Nasional (FPN), yakni menciptakan generasi pelajar yang seimbang secara intelektual, spiritual, emosional, dan fisik. Visi itu bertujuan untuk menghasilkan warga negara yang bertanggung jawab dan berkontribusi pada pembangunan negara. FPN menjadi dasar dalam pengembangan sistem pendidikan Malaysia. FPN berupaya menciptakan individu yang memiliki pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai moral yang kuat. Kementerian Pendidikan Malaysia juga memiliki visi untuk meningkatkan kualitas pendidikan, akses, pemerataan, dan efisiensi sistem pendidikan yang tertuang dalam Cetak Biru Pendidikan Malaysia 2013-2025. Kini, negara tentangga itu mulai menunjukkan hasilnya.
Itu baru Malaysia, negara tetangga yang sebenarnya Indonesia harusnya bisa jauh lebih hebat darinya. Tidak dimungkiri, negara-negara dengan visi pendidikan yang jelas, mereka berhasil melakukan pembangunan pendidikan. Sementara, Indonesia jika mau disebut baru akan memulainya, itu pun jika komitmen menjadikan pendidikan sebagai yang utama, benar-benar dijalankan pemerintah.