Review Buku Novel Seporsi Mie Ayam Sebelum Mati

6 days ago 7

Judul: Seporsi Mie Ayam Sebelum Mata

Penulis: Brian Khrisna

Editor: Trian Lesmana

Penyelia naskah: Yayi Dewintya

Desain sampul: Withly

Penata sampul: Karang Marhaen

Ilustrasi isi: GI Amar

Penata isi: Hani Fauziyah

Cetakan keempat: Februari 2025

Penerbit: Grasindo

***

"Aku tidak pernah menyangka, kesepian ternyata bisa semembunuh ini." (hlm. 3)

"Aku hanyalah pemeran pembantu, bahkan di cerita kehidupanku sendiri." (hlm. 9)

"Aku tidak tahu bagaimana cara menjelaskan perasaan yang sedang aku rasakan sekarang. Semua terasa begitu menyakitkan. Hatiku terasa sangat berat hingga rasanya menangis saja tidak cukup. Aku lelah. Bukan lelah secara fisik, tetapi ada sesuatu di dalam diriku yang ingin kusudahi." (hlm. 17)

"Aku masih gamang. Aku ingin sekali makan mie ayam sebelum mati. Harus mie ayam Pak Jo!" (hlm. 41)

"Apa kalian pernah merasakan perasaan yang seperti itu? Perasaan karena dianggap ada?" (hlm. 84)

"Pohon jati itu meranggas setiap tahun tapi dia tetap berdiri tegak dan menunggu musim hujan datang untuk pada akhirnya rimbun lagi. Dia gak akan mati. Dia cuma istirahat sebentar. Dia gak menyerah menghadapi musim kemarau. Dia hanya menyesuaikan diri saja. Begitu juga dengan hidup, jalani aja sekuatnya, nanti juga ketemu musim hujannya sendiri-sendiri." (hlm. 166)

***

Ale, pria berusia 37 tahun dengan tubuh tinggi menjulang 189 cm dan berat 138 kg, telah lama merasa asing di dunia ini. Tubuhnya yang besar, kulit gelap, dan masalah bau badan membuatnya sering menjadi sasaran tatapan tidak nyaman. Menjadi korban bullying pun sudah kerap dialaminya.

Sejak kecil, ia tumbuh di lingkungan yang tak pernah benar-benar menerima keberadaannya. Tanpa teman dekat, Ale hanya mengenal kesepian sebagai teman setianya. Sekolah bukanlah tempat yang aman, melainkan arena di mana ia menjadi sasaran perundungan. Keluarganya pun tak memberi sandaran atau kekuatan emosional.

Depresi telah lama menjadi bayangan yang mengiringi langkah Ale. Ia berusaha mengubah dirinya, mencoba menyesuaikan diri agar diterima, tetapi dunia tampaknya menolak untuk membuka pintunya. Bahkan ketika ia melawan, mencoba bangkit, segalanya tetap terasa sia-sia. Rasa lelah itu akhirnya mencapai puncaknya.

Dalam keheningan pikirannya yang gelap, Ale mengambil keputusan yang ia anggap sebagai satu-satunya jalan keluar: mengakhiri hidupnya. Tanpa ingin merepotkan siapa pun, ia menata segalanya.

Apartemennya yang berantakan ia bersihkan, ia nikmati makanan mahal yang tak pernah ia beli sebelumnya, lalu menenggelamkan dirinya dalam lagu-lagu karaoke hingga mabuk. Dalam 24 jam, ia memutuskan akan pergi untuk selamanya dari dunia yang begitu menyesakkan ini baginya.

Malam itu, dengan mengenakan kemeja hitam dan celana hitam, Ale duduk sendiri di apartemennya, seakan menghadiri pemakamannya sendiri. Di kepalanya, ia mengenakan topi ulang tahun. Di tangannya, sebuah konfeti ia letuskan pelan, seolah memberikan perayaan kecil bagi dirinya sendiri untuk terakhir kalinya. Ia menatap botol antidepresan yang sudah ada di genggamannya, bersiap menelan semuanya dalam sekali teguk, mengakhiri kisah yang selama ini terasa menyakitkan.

Namun, di detik terakhir, matanya terpaku pada tulisan kecil di botol itu: dikonsumsi sesudah makan. Perutnya berbunyi—tanda sederhana yang mengingatkannya bahwa ia masih hidup, bahwa tubuhnya masih meminta sesuatu darinya.

Ale berpikir sejenak, lalu memutuskan, sebelum pergi, ia akan makan seporsi mie ayam. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bisa membuat keputusan sendiri, bukan berdasarkan penolakan atau paksaan orang lain. Mungkin, dalam semangkuk mie ayam itu, ada sesuatu yang tak ia sadari sebelumnya: secercah keinginan untuk tetap hidup.

Kejadian tak terduga di tengah usahanya mencari seporsi mie ayam menjadi awal dari serangkaian momen yang seakan absurd tapi begitu menarik. Pengalaman demi pengalaman unik pun dialaminya dengan cara yang terasa begitu ajaib. Ale dipertemukan dengan orang-orang dengan berbagai macam latar belakang, termasuk bertemu dengan orang-orang pinggiran yang mungkin selama ini tak pernah ia perhatikan bahkan mereka menjalani hidup yang jauh berbeda dari Ale. Dia kembali disadarkan soal memaknai kehidupan dengan hati yang lebih kuat dan tegar lagi. Tidak mudah baginya untuk bisa menyikapi semua trauma dan keadaan yang dialaminya, tetapi masih ada peluang baginya untuk membuat keputusan baru dan berbeda.

Kesehatan mental menjadi inti dari cerita ini, menghadirkan narasi yang menggugah tentang bagaimana depresi bisa menghampiri seseorang, apa saja pemicunya, dan bagaimana seharusnya kita bersikap saat bertemu dengan mereka yang tengah berjuang melawannya.

Melalui sudut pandang yang menarik, kisah ini mengajak pembaca untuk lebih memahami bahwa depresi bukan sekadar kesedihan biasa, melainkan perjuangan panjang yang sering kali tak terlihat oleh mata.

Alur cerita dalam buku ini mengalir dengan bahasa sehari-hari yang ringan. Halaman demi halaman buku ini bisa dibaca dalam waktu yang cukup cepat dan tak terasa sudah sampai di akhir bab. Karakter-karakternya terasa begitu nyata, membawa kita seakan bisa ikut menyelami setiap emosi, ketakutan, dan harapan yang mereka rasakan.

Ada ilustrasi hitam putih di setiap awal bab, membuat kita sebagai pembaca seakan diajak mengintip fragmen cerita yang akan terungkap selanjutnya, menciptakan pengalaman membaca yang lebih membekas dan berkesan.

Novel ini juga seakan menjadi pengingat bagi kita yang tengah merasa lelah dengan kehidupan bahwa secercah harapan selalu bisa didapatkan meskipun harus melalui banyak kepahitan. Seperti yang disampaikan oleh sang penulis, kisah ini terinspirasi dari mereka yang pernah berada di titik terendah, sampai akhirnya menemukan alasan, sekecil apa pun, untuk bertahan dan memilih hidup sekali lagi.

Selain perjalanan emosional Ale, buku ini juga menghadirkan karakter-karakter lain yang secara kebetulan hadir dalam hidupnya. Pertemuan mereka dengan Ale terasa seperti takdir yang sudah diatur, memberikan dinamika tersendiri dalam alur cerita. Hanya saja, masih ada kesan bahwa beberapa tokoh ini menyampaikan petuah dengan cara yang agak terasa menggurui, seolah memberikan solusi instan bagi pergulatan batin Ale. Meskipun demikian, interaksi mereka tetap memberikan perspektif baru tentang bagaimana seseorang bisa menemukan harapan dari percakapan yang tak terduga.

Terlepas dari cara penyampaiannya, pesan yang ingin dibawa oleh buku ini tetaplah kuat dan bermakna. Bahwa terkadang, hidup memberikan jawaban dalam bentuk yang tak kita duga—entah lewat pertemuan singkat, kata-kata sederhana, atau bahkan kejadian kecil yang tampak sepele.

Kita akan kembali diajak untuk merenungkan bahwa setiap orang punya perjalanan masing-masing dalam menghadapi kesedihannya, dan meski tidak selalu terasa mudah, selalu ada celah cahaya bagi mereka yang masih berani bertahan. Bagi Sahabat Fimela yang menyukai cerita dengan tema kesehatan mental atau sedang mencari novel yang bisa menjadi pemantik untuk menghadirkan motivasi hidup yang lebih kuat, novel ini bisa menjadi rekomendasi bacaan yang menarik. Ada selipan humor yang cukup menghibur dan membuat kita tertawa di tengah pengalaman Ale bertemu dengan orang-orang berkarakter unik dan belum pernah ia jumpai sebelumnya.

Read Entire Article
Prestasi | | | |