Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, pernahkah bertemu dengan seseorang yang selalu bersemangat memberikan nasihat, tetapi ada sesuatu yang terasa kurang tulus? Seolah-olah, tujuan mereka bukan benar-benar membantu, melainkan ingin menunjukkan bahwa mereka lebih tahu, lebih berpengalaman, atau lebih bijak. Alih-alih memberikan solusi yang bermanfaat, mereka justru sibuk mempertontonkan betapa luar biasanya mereka sendiri.
Situasi ini mungkin terasa membingungkan karena nasihat mereka terdengar benar, tetapi ada rasa tidak nyaman yang terselip di baliknya. Jika diperhatikan lebih saksama, orang-orang seperti ini sebenarnya sedang memanfaatkan momen memberi nasihat sebagai panggung pribadi untuk memamerkan kecerdasan atau pencapaian mereka.
Bukan hal yang salah untuk berbagi pengalaman, tetapi jika tujuan utamanya hanya untuk terlihat hebat, nasihat tersebut kehilangan esensinya. Berikut ini adalah tujuh tanda seseorang suka memberi nasihat tetapi sebenarnya hanya ingin pamer. Bukan bermaksud untuk membuatmu berprasangka buruk terhadap orang-orang di sekitarmu, tetapi untuk membantumu bisa lebih lebih mawas diri dalam membangun hubungan yang lebih sehat dengan siapa saja.
1. Lebih Banyak Menceritakan Diri Sendiri daripada Mendengarkan
Sahabat Fimela, orang yang benar-benar peduli akan lebih banyak mendengar sebelum memberi nasihat. Sebaliknya, mereka yang hanya ingin pamer akan langsung mengambil alih pembicaraan dengan cerita tentang dirinya sendiri. Setiap masalah yang diceritakan orang lain selalu dihubungkan dengan pengalaman pribadinya, seolah-olah hanya dia yang memiliki solusi terbaik.
Setiap kali seseorang berbagi cerita atau kesulitan, responsnya selalu dimulai dengan "Saya dulu juga pernah..." atau "Kalau saya di posisi kamu, saya pasti..." tanpa benar-benar memahami perasaan orang yang sedang berbicara. Alih-alih memberi ruang untuk curhat, mereka justru menjadikan pembicaraan itu sebagai monolog panjang tentang pencapaian pribadi.
Perilaku seperti ini membuat orang yang sedang membutuhkan bantuan merasa diabaikan. Sebuah nasihat seharusnya berpusat pada orang yang menerima, bukan pada orang yang memberi. Jika seseorang lebih banyak berbicara tentang dirinya sendiri daripada mendengarkan, bisa jadi tujuan utamanya bukan membantu, melainkan pamer.
2. Menggunakan Nada Seolah-olah Paling Bijak dan Paling Benar Sendiri
Nada bicara seseorang bisa mengungkapkan banyak hal tentang niat sebenarnya, Sahabat Fimela. Mereka yang suka pamer saat memberi nasihat sering berbicara dengan nada yang terlalu meyakinkan, seakan-akan mereka memiliki semua jawaban dalam hidup. Mereka menggunakan intonasi khas "guru besar" yang membuat lawan bicara merasa lebih kecil dan kurang berpengetahuan.
Alih-alih berbicara dengan kesederhanaan dan empati, mereka lebih suka menggunakan kalimat yang bombastis dan dramatis, seperti "Kamu harusnya sudah tahu ini!" atau "Kenapa masih bingung? Jawabannya jelas sekali!" Padahal, dalam kenyataan, kehidupan tidak sesederhana hitam dan putih, dan tidak ada satu solusi yang bisa berlaku untuk semua orang.
Nasihat yang benar-benar tulus akan disampaikan dengan nada yang lembut dan bersahabat, bukan dengan cara yang menggurui. Jika seseorang selalu berbicara seperti orang yang paling tahu segalanya, bisa jadi mereka tidak sedang membantu, melainkan hanya ingin dipandang sebagai sosok yang bijak.
3. Menyisipkan Prestasi Pribadi dalam Setiap Nasihat
Sahabat Fimela, perhatikan bagaimana seseorang menyusun nasihatnya. Jika setiap saran selalu diiringi dengan cerita panjang tentang keberhasilannya sendiri, itu bisa menjadi tanda bahwa nasihat tersebut lebih bertujuan untuk pamer. Misalnya, saat seseorang menceritakan kesulitan keuangan, orang seperti ini akan berkata, "Makanya, seperti saya, dari dulu selalu disiplin menabung dan sekarang tidak pernah kesulitan uang."
Bukannya menawarkan solusi yang sesuai dengan kondisi orang lain, mereka justru menjadikan pengalaman pribadi sebagai standar mutlak. Padahal, tidak semua orang memiliki latar belakang yang sama atau kesempatan yang setara.
Orang yang benar-benar ingin membantu akan berusaha memahami situasi unik setiap orang tanpa harus menjadikan dirinya sebagai contoh utama. Jika setiap nasihat selalu diiringi dengan pameran prestasi pribadi, kemungkinan besar orang tersebut hanya ingin mengesankan, bukan menolong.
4. Menyamaratakan Pengalaman sebagai Kebenaran Mutlak
Setiap orang memiliki perjalanan hidup yang berbeda, tetapi mereka yang suka pamer saat memberi nasihat sering kali menyamaratakan pengalaman pribadi mereka sebagai satu-satunya kebenaran. "Saya dulu berhasil begini, jadi kamu juga pasti bisa!" adalah kalimat favorit mereka.
Tanpa mempertimbangkan latar belakang atau kesulitan yang dihadapi orang lain, mereka langsung mengasumsikan bahwa solusi yang berhasil bagi mereka juga harus berhasil untuk semua orang. Pendekatan seperti ini bukanlah bentuk empati, melainkan sekadar cara untuk menunjukkan bahwa mereka telah berhasil dan lebih unggul.
Seseorang yang benar-benar ingin membantu akan mempertimbangkan banyak perspektif sebelum memberi nasihat. Mereka tidak akan memaksakan pengalaman pribadinya sebagai satu-satunya solusi, melainkan akan mencoba memahami keadaan dengan lebih terbuka.
5. Sering Menggunakan Kata-Kata yang Mengesankan Superioritas
Sahabat Fimela, orang yang memberi nasihat dengan tujuan pamer sering menggunakan kata-kata yang menempatkan dirinya di atas orang lain. "Kamu masih pemula, wajar kalau bingung," atau "Dulu saya juga seperti kamu, tapi sekarang saya sudah jauh lebih maju." Kalimat semacam ini mengandung makna tersembunyi bahwa dirinya lebih baik, lebih sukses, atau lebih berpengalaman.
Bukan berarti seseorang tidak boleh berbagi pengalaman, tetapi cara penyampaiannya bisa menunjukkan apakah niatnya tulus atau sekadar ingin terlihat hebat. Jika nasihat yang diberikan selalu memiliki unsur merendahkan lawan bicara, maka itu bukanlah bantuan, melainkan ajang pembuktian diri.
Nasihat yang baik akan disampaikan dengan kesetaraan dan tanpa membuat orang lain merasa lebih kecil. Sebaliknya, jika seseorang terus-menerus menegaskan betapa hebat dirinya, maka tujuan utamanya bukan menolong, melainkan pamer.
6. Tidak Memberi Ruang untuk Diskusi atau Bertukar Pendapat
Seseorang yang benar-benar ingin membantu akan terbuka terhadap berbagai sudut pandang. Namun, mereka yang suka pamer justru bersikap kaku dan tidak mau mendengarkan pendapat lain. Setiap kali ada perbedaan pandangan, mereka akan segera menutup diskusi dengan pernyataan seperti, "Saya lebih tahu karena saya sudah mengalami sendiri."
Mereka tidak tertarik untuk memahami bahwa ada banyak cara lain dalam menghadapi suatu masalah. Bagi mereka, yang paling penting adalah menunjukkan bahwa mereka adalah sumber kebijaksanaan yang tidak bisa dibantah.
Jika seseorang tidak mau mendengarkan sudut pandang lain dan selalu merasa dirinya paling benar, maka besar kemungkinan mereka hanya ingin pamer, bukan benar-benar membantu.
7. Meninggalkan Kesan bahwa Orang Lain Tidak Sebijak Dirinya
Setelah berbicara dengan seseorang yang suka memberi nasihat tetapi hanya untuk pamer, sering kali yang tertinggal adalah rasa kurang percaya diri. Bukannya merasa terbantu, orang justru merasa lebih kecil, lebih bodoh, atau kurang berpengalaman.
Sahabat Fimela, nasihat yang baik seharusnya memberi rasa tenang dan pemahaman yang lebih baik, bukan membuat orang merasa tidak cukup baik. Jika seseorang sering membuat orang lain merasa rendah setelah menerima nasihatnya, maka bisa jadi tujuan utamanya bukan memberi bantuan, melainkan hanya ingin dipandang lebih unggul.
Jadi, berhati-hatilah terhadap orang yang tampaknya suka memberi nasihat tetapi sebenarnya hanya ingin pamer. Berbagi kebijaksanaan itu baik, tetapi harus dilakukan dengan ketulusan, bukan dengan niat untuk menonjolkan diri.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.