loading...
Lidar, yang bekerja dengan menembakkan jutaan pulsa laser per detik untuk menciptakan peta 3D lingkungan sekitar secara real-time. Foto: ist
TEXAS - Peluncuran layanan robotaxi Tesla yang telah dijanjikan selama bertahun-tahun akhirnya tiba. Namun, alih-alih menjadi sebuah perayaan kemenangan teknologi, debut yang digelar di Austin pada 22 Juni lalu justru berubah menjadi pertunjukan publik yang memalukan, menelanjangi sebuah "dogma" berbahaya yang selama ini dianut oleh sang visioner, Elon Musk.
Video-video yang awalnya disebar oleh para pendukung setia untuk memuji layanan tersebut, secara ironis justru menjadi bukti kegagalan. Mobil-mobil tanpa pengemudi itu terekam melanggar rambu lalu lintas, mengerem tanpa alasan, hingga salah mengambil jalur secara paksa. Dalam hitungan hari, regulator keselamatan jalan raya AS (NHTSA) langsung membuka investigasi.
Di balik kekacauan ini, ada pertanyaan fundamental yang telah menghantui industri selama bertahun-tahun, dan kini jawabannya terpampang nyata di jalanan Austin: mengapa Elon Musk begitu keras kepala menolak teknologi Lidar, sebuah "mata" laser yang dianggap krusial oleh hampir semua pemain lain di industri mobil otonom?
'Lidar Itu Payah': Obsesi Mahal di Balik Kamera
Bagi para pesaing seperti Waymo (milik Google) dan Zoox (milik Amazon), resep untuk mobil otonom yang aman sudah jelas: sebuah "trinitas suci" yang terdiri dari kamera, radar, dan Lidar.
Lidar, yang bekerja dengan menembakkan jutaan pulsa laser per detik untuk menciptakan peta 3D lingkungan sekitar secara real-time, dianggap sebagai jaring pengaman utama, terutama dalam kondisi cuaca buruk atau minim cahaya.
Namun, bagi Elon Musk, Lidar adalah sebuah musuh.
"Lidar itu payah," cibir Musk dalam sebuah acara Tesla pada 2019. "Di mobil, itu benar-benar bodoh. Mahal dan tidak perlu."