loading...
Penambahan kewenangan jaksa dalam RUU Kejaksaan memicu polemik di masyarakat. Foto/istimewa
JAKARTA - Penambahan kewenangan jaksa dalam RUU Kejaksaan memicu polemik di masyarakat. Sebab penambahan kewenangan tersebut berpotensi terjadinya kesewenang-wenangan dan pelanggaran HAM.
Hal itu terungkap dalam diskusi yang mengangkat tema “UU dan RUU Kejaksaan (Persimpangan antara Supremasi Kekuasaan dan Supremasi Hukum Review atas UU Nomor 11 Tahun 2021 dan RUU Perubahan Kedua Nomor 16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan”).
Sejumlah narasumber hadir dalam diskusi tersebut yaitu Pengajar FH Trisakti sekaligus Direktur De Jure Bhatara Ibnu Reza, Direktur Advokasi dan Kebijakan De Jure Awan Puryadi, Dosen FH Universitas Brawijaya Milda Istiqomah, Dosen FH Universitas Gadjah Mada Muhammad Fatahillah Akbar, Sekjen PBHI Nasional Gina Sabrina.
Dosen Fakultas Hukum Brawijaya Milda Istiqomah menyampaikan berdasarkan beberapa survei lembaga independen indeks rule of law dan kepercayaan publik terhadap penegakan hukum terus menurun. Faktor utamanya adalah korupsi dan politisasi hukum.
“Sehingga memunculkan pertanyaan, rapor penegakan hukum merah tetapi kenapa justru meminta kewenangan tambahan. Apalagi dengan memberikan kewenangan satu lembaga ke lembaga lain, hal ini merupakan logika yang salah,” katanya, Jumat (25/4/2025).
Selain itu, pemberian kewenangan memiliki senjata api (senpi) bagi Jaksa juga harus dipertanyakan. Jaksa tugasnya sebagai penuntutan, tidak ada dialog yang bisa terjadi jika ada senjata. Selain itu, rangkap jabatan yang dilakukan oleh Kejaksaan juga menjadi permasalahan. Ini akan mengganggu profesionalisme seorang Jaksa dalam melakukan tugas dan fungsi.
“Fungsi intelijen adalah mengumpulkan informasi, menganalisa dan kontra intelijen yang dijadikan sebagai bahan untuk mengambil kebijakan yang mengancam kedaulatan dan keamanan dari luar. Tidak boleh intelijen melakukan fungsi Penyelidikan tidak ditemukan teori apa pun dan di negara manapun yang dapat menjustifikasi kewenangan tersebut,” katanya.
Selain itu, kewenangan Jaksa dalam pengawasan multimedia juga akan berpotensi melanggar kebebasan pers, hak privasi dan sebagainya. Pemberian kewenangan tersebut juga akan tumpang tindih dengan Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) begitupun dengan cyber Polri.
Apalagi, penambahan-penambahan kewenangan terhadap Kejaksaan justru tidak dibarengi dengan pertanggungjawaban dan mekanisme pengawasan baik secara internal maupun eksternal.
“Penambahan kewenangan tanpa pengawasan yang mumpuni akan menyalahi prinsip due process of law, berpotensi terjadi kesewenang-wenangan dan potensi pelanggaran HAM,” katanya.
(cip)