7 Tanda Orang Banyak Gaya tapi Tidak Bahagia dengan Dirinya Sendiri

1 month ago 18

Fimela.com, Jakarta Ada satu fenomena yang kerap kita saksikan di tengah kehidupan sosial masa kini: seseorang tampak begitu memukau dengan segala atribut penampilan, gaya bicara, atau pencitraan yang luar biasa apik, namun saat tirai gemerlap itu diturunkan, ia justru merasa asing dengan dirinya sendiri.

Seolah-olah hidupnya seperti panggung sandiwara tanpa jeda, di mana setiap gestur dan kata yang keluar harus disesuaikan demi kesan yang dikejar, bukan kebahagiaan sejati yang dicari. Sahabat Fimela, di balik banyak gaya yang diperlihatkan, sering kali tersembunyi sebuah kekosongan yang tak terucap.

Menariknya, hal ini tidak melulu soal materialisme atau eksistensi sosial semata. Kadang, akar ketidakbahagiaan itu lebih dalam, bersembunyi di sudut ruang batin yang jarang disentuh: ketidaknyamanan terhadap diri sendiri.

Apa saja sebenarnya tanda-tanda yang bisa mengungkapkan bahwa seseorang banyak gaya, tetapi hatinya diam-diam gelisah dengan dirinya? Bukan untuk menghakimi, melainkan sebagai bahan refleksi agar kita lebih bijak membaca gestur orang lain, sekaligus memahami diri sendiri lebih utuh. Mari kita bahas bersama, Sahabat Fimela.

1. Terlalu Sibuk Membuktikan Dirinya pada Semua Orang

Sahabat Fimela, seseorang yang nyaman dengan dirinya tak merasa perlu mengumbar pembuktian tanpa henti. Sebaliknya, orang yang kerap tampil dengan banyak gaya justru sering terlihat berjuang keras membuktikan keberhargaan dirinya pada siapa pun yang menonton. Tiap langkahnya seperti dikalkulasi agar mendapat validasi dari mata luar, bukan dari dalam hati.

Jika setiap pencapaian harus dipertontonkan, setiap keputusan harus disetujui oleh khalayak, itu adalah pertanda ada kegelisahan personal yang belum selesai. Validasi eksternal dijadikan sumber semu untuk mengisi kekosongan internal. Padahal, kebahagiaan sejati tidak lahir dari seberapa banyak tepuk tangan yang didapat, melainkan dari rasa cukup yang tumbuh tanpa penonton.

Ketika orang terlalu sibuk memoles citra demi meyakinkan dunia, sering kali ia melupakan satu hal krusial: apakah dirinya sendiri sudah percaya pada apa yang sedang ia pertontonkan? Jika jawabannya tidak, maka gaya yang ia bangun hanyalah topeng rapuh yang mudah runtuh saat sorotan meredup.

2. Sulit Berada di Momen Tanpa Sorotan

Seseorang yang bahagia dengan dirinya sendiri mampu menikmati momen apa adanya, tak peduli ada yang memperhatikan atau tidak. Namun, Sahabat Fimela, mereka yang banyak gaya kerap menunjukkan kegelisahan ketika situasi hening—saat tak ada mata yang tertuju, tak ada kamera yang menyorot.

Momen tanpa sorotan terasa sepi bagi mereka karena di sanalah ketidakpastian eksistensi muncul. Ia terbiasa mendapatkan energi dari perhatian, bukan dari ketenangan batin. Maka, situasi di mana ia tak mendapat pengakuan membuatnya merasa kosong, seolah kehilangan fungsi.

Inilah mengapa, orang yang terlalu bergantung pada kesan luar akan kesulitan menikmati momen-momen kecil yang sederhana. Mereka selalu mencari keramaian, padahal kebahagiaan sejati justru sering kali ditemukan dalam keheningan yang jujur.

3. Berlebihan Menyusun Narasi tentang Hidupnya

Ada perbedaan besar antara berbagi kisah hidup secara tulus dan merancang narasi agar terlihat sempurna. Sahabat Fimela, orang yang banyak gaya cenderung tak cukup puas membiarkan hidupnya mengalir alami. Ia memilih mengatur alur cerita hidupnya agar tampak mengesankan, lengkap dengan plot twist yang dramatis.

Setiap unggahan, setiap cerita, selalu diatur sedemikian rupa agar menampilkan dirinya dalam versi terbaik. Sayangnya, makin sering ia menyusun narasi seperti ini, makin jauh pula ia dari kenyataan tentang siapa dirinya yang sesungguhnya.

Saat hidup lebih sibuk dikemas ketimbang dijalani, kebahagiaan menjadi barang langka. Yang tersisa hanyalah kelelahan karena terus menjaga "naskah" agar tidak melenceng dari citra yang dibangun.

4. Merasa Terancam oleh Keberhasilan Orang Lain

Sahabat Fimela, seseorang yang damai dengan dirinya sendiri tak merasa perlu mengukur kebahagiaan dengan membandingkan pencapaian orang lain. Namun, bagi mereka yang banyak gaya, keberhasilan orang lain sering kali terasa seperti ancaman yang menggoyahkan kestabilan citra diri.

Alih-alih ikut bahagia, mereka justru mudah tersulut perasaan minder atau iri, sebab standar kebahagiaan mereka dibangun di atas kompetisi sosial. Segala pencapaian pribadi belum cukup menenangkan bila tak lebih tinggi dari milik orang lain.

Ketika pandangan hidup sempit, selalu berfokus pada siapa yang lebih unggul, seseorang akan terjebak dalam lingkaran ketidakpuasan. Akhirnya, gaya hidup yang semula bertujuan untuk membanggakan diri malah membuat batin makin gelisah.

5. Tak Pernah Puas meski Sudah Banyak Pencapaian

Berapa banyak pencapaian yang harus dikumpulkan agar seseorang merasa bahagia? Sahabat Fimela, bagi orang yang benar-benar mencintai dirinya sendiri, satu keberhasilan kecil pun cukup membuatnya bersyukur. Namun, lain halnya dengan mereka yang haus gaya; pencapaian sebesar apa pun selalu terasa kurang.

Bahkan setelah mendapatkan pekerjaan bagus, materi berlimpah, atau relasi luas, masih ada kekosongan yang tak kunjung terisi. Ini karena kebahagiaan mereka bertumpu pada pencapaian yang bisa dipamerkan, bukan pada makna di balik usaha yang dilakukan.

Ketidakpuasan semacam ini membuat mereka terus mengejar hal-hal baru tanpa jeda untuk merayakan diri. Sayangnya, semakin dikejar, semakin jauh pula rasa cukup itu melayang.

6. Sering Membicarakan Diri Sendiri, Jarang Mendengar

Ada kecenderungan menarik dari orang yang gemar menonjolkan banyak gaya: mereka sangat nyaman bercerita tentang dirinya, tetapi tidak cukup tertarik mendengarkan cerita orang lain. Sahabat Fimela, ini bukan karena kepercayaan diri yang berlebih, melainkan upaya tak sadar untuk terus menguatkan citra diri.

Mereka menggunakan percakapan sebagai cermin, bukan sebagai jembatan. Sebisa mungkin, topik selalu diarahkan pada diri sendiri—prestasi, pengalaman, atau kehebatan yang dimiliki. Namun, jarang sekali mereka berhenti untuk benar-benar menyimak dan peduli pada kisah orang lain.

Ketika hubungan sosial hanya dijadikan panggung personal, alih-alih sumber kehangatan, mereka kehilangan peluang untuk merasakan kedekatan yang tulus. Hasil akhirnya: hubungan penuh basa-basi, hati tetap kesepian.

7. Takut Menunjukkan Kelemahan

Sahabat Fimela, manusia mana yang sempurna tanpa cela? Orang yang nyaman dengan dirinya tahu betul bahwa kekurangan adalah bagian wajar dari perjalanan hidup. Tetapi, mereka yang banyak gaya justru begitu takut menunjukkan sisi rapuhnya.

Setiap kelemahan disembunyikan rapat, seolah ketidaksempurnaan adalah noda yang tak boleh tampak. Mereka menganggap kerentanan sebagai kelemahan fatal, bukan sebagai jendela kejujuran.

Padahal, justru saat seseorang berani mengakui ketidaksempurnaan, di sanalah letak kebebasan emosional. Ketika terlalu sibuk menyembunyikan segala kekurangan, hati akan kelelahan memikul beban pencitraan, dan kebahagiaan pun menjauh.

Sahabat Fimela, tidak ada yang salah dengan tampil percaya diri, rapi, atau mencintai estetika hidup. Namun, saat semua itu menjadi semacam “tameng” untuk menutupi ketidakpuasan pada diri, maka saatnya kita berhenti sejenak dan bertanya: apakah gaya hidup ini benar-benar membuat bahagia, atau justru menjauhkan dari rasa cukup?

Ketika kita berani mengurangi kesibukan membuktikan diri, mengurangi sorotan yang tidak perlu, serta berani hadir apa adanya—di situlah kebahagiaan yang utuh mulai tumbuh. Karena sejatinya, orang yang paling menarik bukanlah mereka yang paling banyak gaya, melainkan mereka yang nyaman berdamai dengan dirinya sendiri.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Prestasi | | | |