Fimela.com, Jakarta Ada jenis pencarian yang tak pernah diumumkan secara langsung, tapi terasa begitu riuh di dunia maya: pencarian identitas. Tidak sedikit orang menempatkan media sosial sebagai panggung utama untuk mempresentasikan versi diri yang bahkan belum selesai mereka kenali. Tampilan luar tampak percaya diri, namun sesungguhnya sedang menyusun ulang potongan-potongan dirinya yang rapuh dan tak stabil. Ironisnya, semakin seseorang kehilangan arah, semakin keras ia menampilkan sesuatu yang dianggap mengesankan.
Sahabat Fimela, pamer di media sosial bukan sekadar soal gaya hidup mewah atau pencapaian yang diumbar. Ada nuansa batin yang lebih kompleks di balik unggahan penuh pencitraan. Saat seseorang krisis jati diri, ia bukan hanya kehilangan orientasi, tetapi juga terus-menerus membandingkan dirinya dengan standar eksternal. Dan media sosial, yang sangat visual dan instan, jadi alat yang tampaknya ampuh untuk membentuk persepsi orang lain—walau sebenarnya justru menjauhkan dari diri sendiri. Berikut ini tujuh tanda halus tapi kuat bahwa seseorang sedang terjebak dalam pamer karena ia sedang tidak tahu siapa dirinya sebenarnya.
1. Ada Jiwa yang Kehilangan Arah dan Tujuan di Balik Setiap Unggahan
Tampilan media sosial yang terlalu sempurna kerap bukan cerminan hidup yang sebenarnya. Ketika semua hal terasa seolah dirancang seperti katalog majalah, dari warna feed, caption puitis, sampai pose yang selalu fotogenik, bisa jadi yang diatur bukan hanya visual, tapi juga kesan palsu atas kehidupan. Sahabat Fimela, ini bisa menjadi bentuk pengalihan dari rasa hampa di dalam diri.
Mereka yang sedang mengalami krisis jati diri sering kali bersembunyi di balik estetika. Feed Instagram jadi ruang untuk “membuktikan” eksistensi, padahal apa yang ditampilkan belum tentu sesuai dengan isi hati. Tak jarang, orang seperti ini merasa semakin jauh dari dirinya setiap kali membuka aplikasinya sendiri.
Lebih dari sekadar estetika, yang ditampilkan adalah bentuk ilusi atas identitas. Mereka tidak tahu siapa mereka, maka mereka ciptakan persona yang tampaknya disukai banyak orang. Pamer jadi satu-satunya cara mereka merasa hidup, walau hanya sebentar.
2. Selalu Haus akan Validasi Eksternal
Makan siang biasa dikemas seperti santapan istimewa. Outfit harian dijepret seolah sedang photoshoot editorial. Hal-hal sepele dibuat terlihat ‘luar biasa’. Di balik kebiasaan overposting ini, Sahabat Fimela, ada kebutuhan yang lebih dalam: validasi diri.
Orang yang mengalami krisis jati diri sering merasa tidak cukup jika tidak mendapatkan perhatian dari luar. Setiap momen sederhana pun dijadikan komoditas untuk mendapat likes, komentar, dan pujian. Mereka tidak sedang menikmati hidup, tapi sedang membuktikan bahwa hidup mereka patut ditiru—meski sebenarnya sedang kosong.
Alih-alih berbagi cerita, mereka sedang berjuang menciptakan narasi. Pamer jadi alat untuk meyakinkan diri bahwa mereka baik-baik saja, meski dalam hati mereka sendiri tidak yakin.
3. Merasa Ingin Terlihat Lebih Hebat dari Siapapun
Sahabat Fimela, ketika seseorang terus-menerus ingin terlihat lebih hebat dari orang lain, sebenarnya ia sedang bergulat dengan rasa tidak aman dalam dirinya. Ia merasa harus menang di segala hal, bahkan dalam hal yang sepele, karena khawatir eksistensinya tidak dianggap. Di balik tampilan percaya diri, tersimpan kegelisahan akan penerimaan sosial yang belum pernah ia temukan secara utuh.
Dorongan untuk selalu unggul juga bisa lahir dari pengalaman ditolak, diremehkan, atau tidak pernah mendapat pengakuan yang tulus. Maka, media sosial dijadikan medan pembuktian diri yang tiada henti. Semua unggahan, prestasi, hingga pencitraan disusun sedemikian rupa agar tampak lebih dari siapapun, seolah itu satu-satunya cara agar dirinya berharga.
Namun, semakin kuat keinginan untuk terlihat paling hebat, semakin jauh ia dari rasa damai. Rasa iri pun mudah muncul saat melihat keberhasilan orang lain, karena ia melihat semuanya sebagai kompetisi. Padahal, jika jati diri sudah kuat, seseorang tidak akan merasa perlu jadi yang paling unggul. Ia akan cukup dengan menjadi versi terbaik dari dirinya sendiri, tanpa harus membandingkan atau menonjolkan kehebatan semu.
4. Selalu Ingin Tampil Sok Sibuk
Sahabat Fimela pasti pernah melihat seseorang yang tampak selalu dalam mode “on”—meeting di sana sini, deadline padat, berkarya tanpa henti. Tapi jika semua ini terus diumbar tanpa henti, ada kemungkinan bahwa kesibukan itu bukan aktualisasi, tapi pelarian.
Krisis jati diri membuat seseorang merasa harus terus bergerak agar tidak sempat menghadapi kekosongan dirinya. Maka pamer kesibukan menjadi pelarian dari keheningan yang sebenarnya sangat mereka takuti. Media sosial jadi tempat untuk menyampaikan, “Aku penting,” meskipun dalam hatinya merasa sebaliknya.
Mereka bukan sedang fokus mengejar mimpi, tapi sedang menghindari pertanyaan paling mendasar: siapa aku sebenarnya? Pamer produktivitas adalah bentuk kebingungan yang dikemas seolah ambisi.
5. Membandingkan Diri Secara Berlebihan
Ada tipe unggahan yang menyelipkan nada perbandingan: “Nggak nyangka bisa sampai sini padahal banyak yang meragukan,” atau “Dulu dianggap remeh, sekarang?” Kalimat seperti ini terdengar bangga, tapi sering menyimpan luka dan kebingungan identitas.
Sahabat Fimela, ketika seseorang sering membandingkan dirinya dengan orang lain—baik secara terang-terangan atau tersirat—itu pertanda bahwa ia belum selesai dengan dirinya sendiri. Ia masih mendasarkan nilai dirinya pada pengakuan eksternal, bukan dari pemahaman internal.
Mereka yang tahu jati dirinya tidak merasa perlu membandingkan. Tapi mereka yang sedang kehilangan arah akan terus mencari pembenaran dari luar untuk menenangkan batin yang limbung.
6. Selalu Mengangkat Diri Lewat Kebetulan yang Diada-adakan
“Aku nggak sengaja ketemu tokoh terkenal ini,” atau “Tanpa direncanakan, aku dapat kesempatan langka ini.” Unggahan yang menampilkan keberuntungan luar biasa ini bisa jadi bukan tentang momen bahagia, tapi usaha memperlihatkan bahwa hidup mereka layak diidolakan.
Sahabat Fimela, saat seseorang merasa jati dirinya lemah, ia sering merasa perlu menampilkan dirinya sebagai ‘seseorang’. Kebetulan yang diumbar bisa jadi bukan spontanitas, tapi upaya branding diri.
Identitas yang rapuh cenderung dibalut dengan kejadian dramatis agar terlihat spesial. Padahal jika ia sungguh mengenal dirinya, ia tak perlu terus-menerus membuktikan keistimewaannya lewat narasi kebetulan.
7. Tidak Nyaman Jika Tidak Diakui
Seseorang yang sehat jati dirinya bisa tenang walau tanpa pujian. Tapi mereka yang suka pamer karena sedang krisis identitas akan merasa gelisah jika unggahan mereka tidak ramai. Ketenangan mereka ditentukan oleh respon orang lain, bukan oleh kenyamanan batin sendiri.
Pamer bukan lagi tentang berbagi, tapi tentang menjaga eksistensi. Sahabat Fimela, ketika nilai diri hanya dibangun dari jumlah likes dan views, itu pertanda bahwa pondasi jati dirinya masih sangat rapuh. Ia tidak sedang hidup untuk dirinya, tapi untuk audiens yang ia belum kenal secara nyata.
Kebutuhan akan validasi ini mengungkap satu hal: bahwa jauh di dalam dirinya, ia sedang kehilangan pegangan tentang siapa dirinya sebenarnya. Dan selama itu belum ditemukan, pamer akan terus jadi pelampiasan.
Sahabat Fimela, di balik semua usaha memamerkan citra di media sosial, bisa jadi seseorang hanya sedang ingin tahu siapa dirinya sebenarnya. Pamer bukan selalu tentang kesombongan—kadang itu adalah sinyal bahwa seseorang sedang kebingungan membangun identitasnya.
Alih-alih menghakimi, mari kita lebih banyak berempati. Mereka yang tampak percaya diri belum tentu sungguh kuat. Mungkin mereka hanya butuh waktu untuk kembali mengenal dirinya. Dan semoga, semakin banyak orang yang sadar, bahwa jati diri bukan dicari dari luar—tapi dibangun dari dalam.
Jika kamu merasa relate, mungkin inilah saatnya untuk berhenti sejenak dari membuktikan apa pun. Tenangkan pikiran, dan tanyakan dengan jujur: siapa dirimu tanpa semua sorotan? Jawaban itulah yang paling berharga.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.