loading...
Saling lempar tanggung jawab ketika ada problem terlihat dalam kasus PeduliLindungi. Foto: Gemini
JAKARTA - Badai siber tak mengenal batas negara, mengancam data pribadi dan infrastruktur digital di mana saja. Namun, cara sebuah negara dan industrinya merespons ancaman ini bisa jadi cerminan kematangan dan komitmen terhadap keamanan digital.
Pakar keamanan siber Alfons Tanujaya membandingkan dua insiden siber yang terjadi hampir bersamaan, satu di Korea Selatan dan satu lagi di Indonesia, yang menampilkan kontras tajam dalam penanganan dan dampaknya.
Korea Selatan: SK Telekom Hadapi Malware, Transparansi Jadi Kunci Respons Cepat
Pada 20 April 2025, raksasa telekomunikasi Korea Selatan, SK Telekom (SKT), dikejutkan oleh deteksi malware yang menyusup ke sistem mereka. Tanpa menunda, SKT segera mempublikasikan detail insiden tersebut beserta potensi risikonya. Mereka dengan jujur menyatakan bahwa jika peretasan ini benar terjadi, penyerang "bisa" mencuri data-data sensitif seperti IMSI (International Mobile Subscriber Identity), kunci USIM, data penggunaan jaringan, serta SMS/kontak yang tersimpan di SIM.
Ancaman terburuk? Potensi terjadinya SIM swapping, di mana identitas digital pelanggan bisa diambil alih.
Respons SKT tak berhenti di sana. Dengan keputusan yang mengagetkan namun tegas, perusahaan memutuskan untuk melakukan penggantian SIM untuk SEMUA 25 juta pelanggan mereka! Langkah masif ini dibarengi dengan tindakan preventif komprehensif untuk mencegah insiden serupa terulang di kemudian hari.
Bagaimana reaksi pemerintah Korea Selatan? MSIT (Ministry of Science and ICT), yang setara dengan Kementerian Komunikasi dan Digital di Indonesia, tidak tinggal diam. Mereka langsung bergerak cepat dengan melakukan investigasi penuh dan mengirimkan tim ahli untuk membantu SKT. SKT diwajibkan menyerahkan laporan lengkap paling lambat pada pukul 14.10, 21 April 2025. Bahkan, pada hari yang sama, MSIT menyediakan tenaga ahli pada pukul 20.00 untuk memberikan bantuan teknis langsung kepada SKT.