Korupsi Makin Menggurita, Pengamat: RUU Perampasan Aset Harus Segera Disahkan

1 week ago 9

loading...

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho mengatakan, RUU Perampasan Aset harus segera disahkan untuk menangani kasus korupsi. Foto/istimewa

JAKARTA - Kasus korupsi yang terus terjadi di Indonesia semakin memperlihatkan lemahnya sistem penegakan hukum dalam menangani praktik rasuah. Pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dinilai solusi dalam menangani kasus korupsi.

Seperti diketahui, publik dibuat geram dengan skandal korupsi bernilai triliunan rupiah seperti kasus dugaan megakorupsi PT Pertamina yang diperkirakan merugikan negara pada 2023 sebesar Rp193, 7 triliun. Jika pola korupsi berlangsung selama 2018-2023, potensi kerugian negara bisa mencapai Rp 968,5 triliun, hampir 1 kuadriliun.

Pengamat Hukum dan Pembangunan, Hardjuno Wiwoho, menilai, kasus ini menambah deretan skandal besar lainnya, mulai dari BLBI, Jiwasraya, ASABRI, hingga PT Timah. Di tengah krisis kepercayaan terhadap pemberantasan korupsi, ada satu instrumen hukum yang dinilai dapat menjadi solusi ampuh yakni RUU Perampasan Aset. Sayangnya, hingga kini pembahasannya masih terkatung-katung di DPR.

“Lambannya pengesahan RUU Perampasan Aset menunjukkan ketidaktegasan negara dalam memerangi korupsi secara serius. Saya kira, pengesahan RUU Perampasan Aset menjadi UU harga mati.Tidak boleh ditunda lagi,” ujarnya di Jakarta, Kamis (6/3/2025).

Baca Juga

Prabowo Ingin Maafkan Koruptor asal Kembalikan Harta yang Dicuri, Mahfud Sarankan Pakai UU Perampasan Aset

Menurut Hardjuno, perampasan aset adalah salah satu cara paling efektif untuk memberikan efek jera kepada para koruptor. “Kalau hanya mengandalkan hukuman penjara, tidak akan cukup. Kita sudah lihat banyak kasus, koruptor yang divonis bersalah tetap bisa hidup nyaman setelah keluar dari tahanan karena aset mereka tidak tersentuh. Oleh sebab itu, perampasan aset harus menjadi senjata utama dalam pemberantasan korupsi,” ujar Hardjuno.

Kandidat Doktor Universitas Airlangga (Unair) Surabaya ini menjelaskan strategi pemberantasan korupsi harus berjalan dalam tiga aspek utama, yakni pencegahan, penindakan, dan pemulihan aset. Selama ini, aspek pemulihan aset sering kali terabaikan karena mekanisme hukum yang berbelit.

“Proses pemulihan aset hasil korupsi masih bergantung pada mekanisme konvensional yang berbasis putusan pidana. Artinya, penegak hukum baru bisa menyita aset setelah ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap (inkrah). Masalahnya, proses ini bisa memakan waktu bertahun-tahun, memberi celah bagi koruptor untuk menghilangkan atau menyamarkan aset mereka,” jelasnya.

Baca Juga

Pengamat Unair Minta DPR Segera Sahkan RUU Perampasan Aset

Hardjuno menyebut RUU Perampasan Aset membawa terobosan penting dengan memperkenalkan mekanisme non-conviction based asset forfeiture, yang memungkinkan penyitaan aset tanpa perlu menunggu putusan pidana. Cara ini telah diterapkan di berbagai negara seperti Amerika Serikat dengan Civil Asset Forfeiture dan Inggris melalui Proceeds of Crime Act.

Read Entire Article
Prestasi | | | |