LPG, Jargas, Subsidi, dan Kompensasi

4 hours ago 2

loading...

Sampe L. Purba. Foto/Istimewa

Sampe L. Purba
Peneliti Senior pada Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Strategis – Alumni Universitas Pertahanan RI.

SUBSIDI dan kompensasi energi adalah kebijakan kompleks yang memiliki peran krusial dalam perekonomian Indonesia. Kebijakan ini bertujuan menjaga daya beli masyarakat, menopang sektor strategis, serta mengurangi ketimpangan sosial. Namun, pengelolaan subsidi energi, terutama LPG, menghadapi tantangan besar yang memerlukan solusi komprehensif dan berkelanjutan, selaras dengan agenda transisi energi nasional.

Lonjakan Subsidi Energi dan Kompensasi: Analisis Berbasis Data

Dalam beberapa tahun terakhir, anggaran subsidi energi, mencakup LPG , BBM, dan listrik, terus meningkat secara signifikan. Berdasarkan Nota Keuangan APBN dan sumber kredibel lainnya, peningkatan ini dipengaruhi oleh fluktuasi harga minyak dunia, pelemahan nilai tukar rupiah, serta meningkatnya konsumsi LPG domestik.

LPG, Jargas, Subsidi, dan Kompensasi

Sumber: Nota Keuangan APBN

Pada awal program konversi minyak tanah ke LPG tahun 2007, volume LPG 3 kg yang disalurkan masih relatif kecil, hanya sekitar 0,6 juta MT. Namun, seiring dengan masifnya adopsi LPG, terutama dalam rumah tangga, konsumsi meningkat drastis hingga 8,3 juta MT pada 2024. Sayangnya, peningkatan ini tidak diiringi dengan ketepatan sasaran distribusi. Masih banyak kelompok yang tidak berhak menikmati subsidi, sehingga beban anggaran negara semakin besar.

Selain subsidi , pemerintah juga memberikan kompensasi kepada Pertamina dan PLN untuk menutup selisih antara tarif yang dibayarkan masyarakat dengan biaya produksi dan distribusi.

LPG, Jargas, Subsidi, dan Kompensasi

Tantangan dalam Pengelolaan Subsidi Energi: Studi Kasus LPG

1. Distribusi yang Rawan Kebocoran Sistem distribusi LPG bersubsidi yang belum sepenuhnya terintegrasi dengan data kependudukan menyebabkan kebocoran besar. Banyak masyarakat mampu serta usaha komersial kecil hingga menengah yang tetap menikmati subsidi ini, membebani keuangan negara.
2. Validitas Data yang Perlu Ditingkatkan Program subsidi LPG mengandalkan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS), yang sering kali tidak mutakhir dan tidak sinkron dengan data lainnya. Diperlukan integrasi lebih kuat antara DTKS, data kependudukan, dan sistem pengawasan digital untuk memastikan subsidi tepat sasaran.

Baca Juga

Kebijakan Tata Kelola LPG 3 Kg Langkah Strategis Kurangi Beban Subsidi

3. Dinamika Harga Komoditas Global Harga minyak dunia yang berfluktuasi membuat subsidi energi semakin membebani anggaran negara. Kenaikan harga LPG global berdampak langsung pada pengeluaran subsidi.
4. Komitmen Terhadap EBT dan Implikasi Anggaran Pemerintah perlu menyeimbangkan antara subsidi energi fosil dan investasi pada Energi Baru Terbarukan (EBT) agar transisi energi tetap berkelanjutan.

LPG dan Jaringan Gas Kota: Antara Harapan dan Realita

Program konversi minyak tanah ke LPG pada 2007 bertujuan mengurangi subsidi minyak tanah, namun efek sampingnya adalah meningkatnya ketergantungan pada LPG impor. Upaya mendorong jaringan gas kota (jargas) sebagai solusi alternatif menghadapi tantangan ekonomi dan teknis, terutama terkait keekonomian proyek.

Pembatasan Wilayah LPG Bersubsidi

Untuk mengendalikan beban subsidi, pemerintah hendaknya menetapkan beberapa wilayah yang tidak boleh lagi menerima LPG 3 kg bersubsidi, seperti:
• Wilayah dengan infrastruktur jaringan gas yang telah berkembang, seperti sebagian Jabodetabek, Surabaya, dan kota-kota besar lainnya.
• Daerah dengan tingkat kesejahteraan tinggi berdasarkan indeks kemiskinan nasional.
• Wilayah industri dan kawasan komersial yang memiliki akses energi alternatif.

Langkah ini bertujuan agar LPG bersubsidi hanya digunakan oleh kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan. Di wilayah wilayah demikian, PT PGN sebagai sub holding gas dari Pertamina Group perlu didorong untuk mengembangkan bisnisnya secara komersial.

Peran PGN dalam Pengembangan Jargas Non-APBN: Antara Harapan dan Tantangan

PGN berperan dalam memperluas jargas non-APBN, tetapi menghadapi beberapa tantangan:
1. Volume Pemakaian Rendah: Konsumsi gas rumah tangga masih rendah dibanding LPG.
2. Harga Pokok Produksi Tinggi: Infrastruktur dan biaya operasional tinggi membuat harga jual gas rumah tangga sulit bersaing. Infrastruktur dibangun dengan dana dolar, sementara harga jual LPG ditentukan oleh Pemerintah
3. Persaingan dengan LPG Bersubsidi: Harga LPG subsidi jauh lebih murah dibanding gas bumi, menyebabkan masyarakat enggan beralih ke jargas.
4. Kendala Implementasi: Proses perizinan, biaya retribusi, dan minimnya edukasi masyarakat menjadi penghambat utama.

Dominasi BUMN dalam Impor dan Distribusi LPG: Keniscayaan atau Tantangan?
Pertamina menguasai sebagian besar impor dan distribusi LPG di Indonesia. Hal ini diperlukan untuk menjamin ketersediaan LPG di seluruh wilayah dengan harga yang stabil. Namun, dalam jangka panjang, perlu ada strategi bertahap untuk membuka pasar LPG yang lebih kompetitif dengan melibatkan sektor swasta. Untuk memastikan terciptanya persaingan usaha yang sehat dan adil, dengan tetap mempertimbangkan kewajiban penyediaan Public Service Operation oleh BUMN Energi, Pemerintah perlu berkonsultasi serta mendapatkan saran dan pertimbangan dari KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha)

Penggunaan CNG dan LNG

Sebagai alternatif LPG di wilayah yang belum memiliki jargas, pemerintah dapat mendorong penggunaan:
• Compressed Natural Gas (CNG) untuk rumah tangga dan usaha kecil.
• Liquefied Natural Gas (LNG) untuk industri dan transportasi.

Kebijakan ini memerlukan insentif dan penyederhanaan regulasi agar lebih menarik bagi investor. Selain itu juga perlu ada sedikit "efek memaksa", seperti pewajiban kepada Pengembang di wilayah komersial membangun fasilitasi infrastruktur CNG, LNG, dan atau Sambungan Gas Rumah Tangga. Dengan demikian, pelaksana bisnis di sektor retail akan lebih terbantu. Hal ini juga akan merupakan wujud nyata komunitas bisnis berpartisipasi dalm meningkatkan pemakaian gas untuk sektor rumah tangga dan bisnis. Gas adalah energi yang tepat sebagai transisi dari energi fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan.

Penutup

Pengelolaan subsidi LPG membutuhkan reformasi menyeluruh agar lebih tepat sasaran. Sinkronisasi DTKS dengan sistem distribusi digital dapat mengurangi kebocoran subsidi. Wilayah dengan infrastruktur energi alternatif harus didorong untuk beralih dari LPG bersubsidi ke jargas atau energi lain yang lebih efisien.

Dengan kebijakan yang lebih terstruktur, dukungan pada infrastruktur jargas, serta penguatan regulasi subsidi, Indonesia dapat memastikan transisi energi yang lebih berkelanjutan tanpa membebani keuangan negara secara berlebihan.

(zik)

Read Entire Article
Prestasi | | | |