loading...
Pada akhirnya, anjloknya harga jual kembali mobil listrik adalah sebuah dilema terbesar di era elektrifikasi. Foto: Wuling Indonesia
JAKARTA - Di balik gemerlap promosi dan janji masa depan bebas emisi, sebuah "bom waktu" finansial yang mengerikan tengah berdetak di garasi para pemilik mobil listrik di Indonesia.
Fenomena anjloknya harga jual kembali—yang bisa mencapai separuh harga baru hanya dalam dua tahun—kini menjadi hantu paling menakutkan, sebuah dilema yang membuat banyak calon pembeli berpikir seribu kali sebelum beralih ke kendaraan listrik.
Ini bukan sekadar isu biasa. Ini adalah krisis kepercayaan yang berpotensi menghambat laju adopsi mobil listrik di Tanah Air.
Bayangkan, Hyundai Ioniq 5 Signature Long Range yang dibeli dengan harga lebih dari Rp800 juta, dua tahun kemudian di pasar mobil bekas harganya terjun bebas ke kisaran Rp400 jutaan. Atau sebuah BYD Seal yang baru setahun dipakai, nilainya sudah tergerus hingga Rp200 jutaan.
Lantas, apa biang keladi di balik "pembantaian" nilai jual kembali ini? Jawabannya, ternyata, terletak pada komponen yang paling dibanggakan sekaligus paling ditakuti: baterai.
Jantung yang Menua dan Tak Bisa Dibohongi
Prof. Evvy Kartini, pendiri National Battery Research Institute (NBRI), mengungkap kebenaran yang pahit di balik fenomena ini. Menurutnya, kita harus berhenti melihat mobil listrik seperti mobil bensin. Ada satu perbedaan fundamental yang menjadi kunci dari semua masalah ini.