loading...
Ali Mochtar Ngabalin, Guru Besar pada Busan University of Foreign Studies (BUFS), Korea Selatan. Foto/SIndoNews
Ali Mochtar Ngabalin
Guru Besar pada Busan University of Foreign Studies (BUFS), Korea Selatan
TRAGEDI yang menimpa seorang korban anak, siswa kelas dua SD yang wafat akibat penganiayaan oleh lima kakak kelasnya, menggambarkan dengan telanjang betapa rapuhnya benteng toleransi di ruang pendidikan kita. Lebih menyakitkan lagi, kekerasan itu dilatarbelakangi oleh perbedaan agama dan suku.
Ini bukan sekadar tragedi sosial, ini adalah alarm kegagalan kurikulum nasional dalam menanamkan nilai moderasi sejak dini. Sudah terlalu lama kita berbicara tentang toleransi hanya di level seminar dan surat edaran. Tapi dalam ruang kelas, anak-anak masih dijejali pandangan sempit dan dualistik: kami dan mereka, benar dan salah, surga dan neraka. Hasilnya? Bocah 8 tahun dipukuli hingga mati karena dianggap "berbeda."
Kurikulum yang Buta Perbedaan
Pelajaran agama di sekolah dasar, meski wajib, tidak selalu disusun dengan pendekatan lintas iman. Sebaliknya, sering kali menjadi alat pembenaran kebenaran tunggal. Tidak ada ruang mengenal keyakinan lain, tidak ada dialog lintas agama, dan sangat jarang ada pembelajaran tentang hidup bersama dalam keberagaman.
Saya menyerukan agar Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan segera merombak total kurikulum pendidikan agama dan kewarganegaraan di tingkat dasar. Materi harus mencakup:
- Pengenalan agama-agama besar dunia dan cara hidup damai bersama
- Cerita fabel atau dongeng toleransi antaragama untuk anak-anak
- Proyek kolaboratif lintas keyakinan seperti Hari Keberagaman di sekolah
- Pelatihan guru tentang komunikasi multikultural dan toleransi aktif