Romantisasi Financial Abuse dalam Rumah Tangga saat “Rp10 Ribu di Tangan Istri yang Tepat” jadi Narasi yang Salah Kaprah

1 week ago 8

Fimela.com, Jakarta Belakangan ini, media sosial ramai dengan konten yang menampilkan kalimat seperti, “Rp10 ribu di tangan istri yang tepat bisa jadi banyak.” Sekilas, kalimat itu terdengar manis dan mengandung pujian untuk istri yang pandai mengatur keuangan. Namun, kalau kamu cermati lebih dalam, narasi semacam ini bisa menormalisasi beban finansial yang tidak seimbang dalam rumah tangga. 

Di balik kata-kata “istri yang tepat”, ada tekanan sosial agar perempuan selalu bisa cukup dengan sedikit, kuat tanpa keluhan, dan hemat. Seolah-olah itu tanda kebajikan padahal bisa jadi itu bentuk romantisasi financial abuse. Seharusnya hal ini bukanlah hal yang normal.

Ketimpangan Ekonomi jadi Akar Masalah

Menurut data dari Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama (Badilag), pada tahun 2024 tercatat 100.198 kasus perceraian di Indonesia disebabkan oleh faktor ekonomi. Angka ini mencapai 25,05% dari total 399.921 kasus perceraian di tahun yang sama. Artinya, satu dari empat perceraian terjadi karena masalah ekonomi. Ini bukan angka kecil. 

Ketimpangan ekonomi, beban finansial yang berat di salah satu pihak, dan kurangnya komunikasi soal uang sering kali jadi sumber pertengkaran yang kemudian berujung pada perpisahan.

Di tengah kenyataan itu, munculnya konten seperti “Rp10 ribu di tangan istri yang tepat” bisa terasa problematik. Alih-alih membahas bagaimana pasangan bisa berkolaborasi dalam keuangan, narasi ini justru mengukuhkan ekspektasi bahwa istri harus bisa survive dalam kondisi terbatas — seolah ketidakcukupan adalah ujian kesetiaan dan bukti cinta.

“Istri Hemat” dan Beban Moral yang Terselubung

Kamu mungkin sering melihat komentar seperti, “Hebat banget istrinya, uang segitu bisa buat makan sekeluarga.” Kalimat ini memang terdengar seperti pujian, tapi di baliknya tersembunyi beban moral yang besar. “Istri hemat” dan “istri ideal” menjadi label yang disematkan kepada perempuan yang bisa bertahan dengan sedikit, bukan kepada perempuan yang berani menuntut keseimbangan finansial.

Padahal, hemat dan disiplin seharusnya bukan tanggung jawab satu pihak saja. Ketika hanya istri yang dituntut berhemat, sementara suami tidak diajak untuk berperan aktif dalam perencanaan keuangan, hal itu bisa menciptakan ketimpangan dan tekanan emosional. Istri jadi merasa bersalah ketika mengeluarkan uang untuk dirinya sendiri, bahkan untuk hal-hal kecil yang sebenarnya wajar — seperti membeli skincare atau sekadar minum kopi dengan teman.

Narasi “istri yang baik adalah yang bisa cukup dengan sedikit” pada akhirnya menormalisasi ketidakadilan. Istri dianggap hebat bukan karena dia berdaya secara finansial, tapi karena bisa bertahan dalam keterbatasan. Padahal, kemampuan bertahan bukan selalu hal yang patut dirayakan jika di baliknya ada ketimpangan yang tidak dibicarakan.

Romantisasi Ketimpangan Ekonomi

Kalimat seperti “istri yang tepat bisa membuat Rp10 ribu jadi banyak” kerap dikemas secara romantis — disertai musik lembut, video keluarga bahagia, atau adegan istri menyiapkan makanan sederhana dengan senyum sabar. Pesan yang muncul seolah: cinta bisa mengalahkan segalanya, termasuk keterbatasan finansial.

Masalahnya, narasi ini bisa jadi alat pembenaran bagi pasangan yang tidak mau memperbaiki kondisi keuangan rumah tangga. Istri yang mengeluh dianggap kurang bersyukur, sementara suami yang tidak bertanggung jawab bisa berlindung di balik kata “sabar dan ikhlas”. Romantisisasi ini berbahaya, karena membuat ketimpangan ekonomi tampak wajar dan bahkan indah.

Padahal, hubungan yang sehat seharusnya dibangun di atas transparansi, kolaborasi, dan keadilan finansial — bukan pada kemampuan salah satu pihak menutupi kekurangan dengan pengorbanan.

Apresiasi yang Seharusnya

Mengapresiasi istri bukan karena ia bisa “berhemat dengan Rp10 ribu”, tapi karena ia punya kesadaran finansial, mau berdiskusi terbuka tentang keuangan, dan berani menuntut keadilan ekonomi. Nilai istri tidak diukur dari seberapa sedikit uang yang bisa ia kelola, tapi dari seberapa sehat ia berpartisipasi dalam keputusan finansial keluarga.

Menurut Dr. Jennifer Petriglieri, pakar hubungan sekaligus profesor di INSEAD, banyak konflik rumah tangga terjadi karena pasangan tidak pernah benar-benar membicarakan uang secara terbuka. “Kita sering membicarakan cinta, tapi jarang membicarakan uang, padahal uang menyentuh hampir semua aspek kehidupan bersama,” ujarnya.

Dr. Petriglieri menekankan pentingnya pembicaraan finansial sejak awal pernikahan, termasuk tentang:

  • Pendapatan masing-masing pihak
  • Kewajiban dan utang
  • Gaya hidup dan prioritas pengeluaran
  • Ekspektasi kontribusi dalam rumah tangga

Dengan begitu, setiap keputusan finansial tidak menjadi beban sepihak.

Hubungan yang Sehat Dimulai dari Kejujuran Finansial

Menurut Dr. Brad Klontz, seorang financial therapist, hubungan finansial yang sehat dibangun dari transparansi dan rasa saling percaya. Tidak ada yang perlu disembunyikan, baik itu penghasilan, pinjaman, maupun pengeluaran pribadi. Pola pikir seperti “uang suami = uang bersama, uang istri = uang sendiri” — atau sebaliknya — sebaiknya dihindari.

Keuangan rumah tangga yang sehat bukan tentang siapa yang paling hemat, tapi tentang bagaimana kamu dan pasangan bisa menjadi tim dalam membuat keputusan finansial. Diskusi yang terbuka soal uang bukan tanda ketidakromantisan, justru itu bentuk cinta yang matang — karena kamu berani membicarakan hal-hal yang paling realistis demi masa depan bersama.

Jadi, kalau kamu melihat lagi konten “Rp10 ribu di tangan istri yang tepat bisa jadi banyak”, coba pikir dua kali sebelum ikut tersentuh. Bukan karena pesannya salah sepenuhnya, tapi karena ada narasi yang perlu diluruskan. Istri yang “tepat” bukan yang bisa memutar uang receh menjadi berkah, tapi yang punya kesadaran finansial dan ruang aman untuk membicarakan keuangan tanpa rasa takut dihakimi.

Cinta yang sehat tidak butuh pengorbanan sepihak. Dan rumah tangga yang kuat tidak dibangun di atas kemampuan satu pihak menutupi kekurangan, melainkan pada kesediaan dua pihak untuk berbagi tanggung jawab — termasuk soal uang.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Read Entire Article
Prestasi | | | |