loading...
Eko Ernada
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember
REL KERETA, dalam sejarah peradaban, selalu lebih dari sekadar infrastruktur transportasi. Ia adalah metafora kekuasaan—cara manusia menundukkan ruang dan waktu, menghubungkan pusat dan pinggiran, serta menegaskan bahwa kemajuan selalu mengandung dimensi politik.
Sejak revolusi industri di Inggris abad ke-19, rel menjadi simbol ekspansi imperium: dari Trans-Siberia di bawah kekaisaran Rusia hingga rel-rel kolonial yang membelah Asia dan Afrika. Di mana ada rel, di situ kekuasaan sedang beroperasi.
Proyek Whoosh, kereta cepat Jakarta–Bandung, berdiri di simpul sejarah itu. Ia bukan hanya proyek teknik, melainkan juga simbol politik—menyatukan ambisi domestik dan kepentingan geopolitik global dalam satu lintasan baja. Diresmikan di penghujung pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Whoosh menjadi tonggak warisan pembangunan berbasis logika konektivitas dan percepatan modernisasi—sebuah gagasan yang dulu diimpikan Soekarno sebagai “jembatan emas” menuju keadilan sosial.
Dalam konteks hubungan internasional, rel ini adalah instrumen statecraft. Joseph Nye mengingatkan bahwa kekuasaan abad ke-21 tak lagi bertumpu pada militer (hard power), melainkan pada kemampuan memengaruhi persepsi bangsa lain (soft power). Melalui Belt and Road Initiative (BRI), China memperluas pengaruh lewat apa yang bisa disebut infrastructural soft power: membangun jejaring global berbasis investasi dan simbol kemajuan. Dalam pandangan Beijing, setiap rel adalah perpanjangan tangan diplomasi.
Indonesia kini berada di persimpangan dua arus besar: ambisi mempercepat pembangunan dan keharusan menjaga otonomi strategis di tengah rivalitas kekuatan besar. Kritik terhadap Whoosh—dari pembengkakan biaya hingga kekhawatiran debt trap—tak bisa dilepaskan dari bayang-bayang sejarah ketergantungan dunia Selatan terhadap modal dan teknologi negara maju.















































