Catatan Akhir Tahun 2025: Menilai Radikalisme dan Anti-Toleransi di Indonesia

4 hours ago 8

loading...

Ridwan al-Makassary, Direktur Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE) FoSS UIII. Foto/Dok.SindoNews

Ridwan al-Makassary

Direktur Center of Muslim Politics and World Society (COMPOSE) FoSS UIII

PADA 2025, radikalisme dan anti-toleransi di Indonesia tidak lagi dapat dibingkai hanya melalui lensa terorisme dan ekstremisme kekerasan seperti yang jamak dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Jika tetap bergeming dengan mengaplikasikan bingkai tersebut, maka, resiko yang akan terbit adalah pengaburan lebih banyak hal daripada yang dapat diungkapkannya.

Apa yang dihadapi Indonesia dewasa ini bukan hanya tentang kegigihan ide-ide radikal, tetapi konfigurasi ulang yang telah tertanam secara sosial, dimediasi secara digital, dan ambivalen secara politik. Karenanya, tugas di hadapan kita tidak hanya untuk mengukur ancaman radikalisme, tetapi untuk memahami konteks dari sebuah perspektif yang lebih luas.

Indonesia, tidak diragukan, telah lama dipuji karena kapasitasnya dalam mengelola keragaman melalui perpaduan pragmatis antara ideologi negara, moderasi beragama, dan keterlibatan masyarakat sipil. Lebih jauh, Pancasila, ormas-ormas keagamaan dan non-keagamaan, dan kearifan lokal telah berfungsi dengan baik sebagai peredam gegar budaya.

Namun, ketahanan tidak boleh disalahartikan sebagai kekebalan. Radikalisme di tahun 2025 dapat bertahan bukan karena Indonesia gagal, tetapi karena telah terjadi sejumlah pergeseran.

Pergeseran pertama adalah generasi. Radikalisme tidak lagi ditransmisikan melalui lingkaran studi klandestin atau jaringan jihadis transnasional. Juga, tidak lagi melalui halaqah kaum pengasong khilafah dan pengusung sunnah rasul yang ketat di masjid-masjid.

Malahan, ia semakin beredar dan menyebar melalui ekosistem media sosial yang menghargai kemarahan, penyederhanaan, dan kepastian moral. Bagi generasi muda Indonesia, generasi milenial dan generasi Z, banyak di antaranya sadar politik tetapi tidak percaya secara institusional.

Mereka ini rawan terpapar narasi radikal melalui digitalisasi yang menawarkan kejelasan di tengah keruwetan narasi. Narasi radikal ini tidak selalu menyuarakan kekerasan, atau secara eksplisit anti-negara, tetapi acap juga muncul sebagai absolutisme moral, politik identitas eksklusif, atau pembacaan konspirasi kehidupan nasional.

Read Entire Article
Prestasi | | | |