loading...
Muhammad Iqbal, Ph.D Psikolog
Assoc. Prof Universitas Paramadina
KEMATIAN akibat perilaku perundungan kembali terjadi. Setelah tragedi bunuh diri seorang dokter koas di Semarang, kini seorang siswa SMP di Tangerang Selatan meninggal dunia, diduga akibat perundungan fisik yang dilakukan oleh seniornya sejak awal masuk sekolah.
Indonesia sesungguhnya berada dalam situasi darurat perundungan. UNICEF (2021) mencatat bahwa 45% remaja Indonesia pernah mengalami atau menyaksikan perundungan.
Kementerian PPPA (2023) juga melaporkan lebih dari 18.000 kasus kekerasan terhadap anak dalam dua tahun terakhir, dengan perundungan sebagai salah satu kategori tertinggi. UNESCO (2019) mencatat bahwa 1 dari 3 siswa usia 11–15 tahun di dunia mengalami perundungan.
Kasus meninggalnya siswa SMPN 19 Tangerang Selatan menegaskan bahwa perundungan bukan persoalan kecil. Ia bukan “kenakalan”, tetapi bentuk kekerasan yang dapat mengancam keselamatan dan perkembangan psikologis anak.
Apa Penyebabnya?
Penyebab perundungan sangat kompleks, melibatkan interaksi antara kepribadian, lingkungan, dan pola pengasuhan. Beberapa faktor yang paling sering muncul adalah:
1. Normalisasi kekerasan
Ungkapan seperti “biar kuat” atau “namanya juga anak-anak” membuat perilaku agresi dianggap hal biasa. Dalam beberapa kasus, pelakunya justru teman, guru, atau orang tua sendiri yang menormalisasi kekerasan verbal maupun fisik.
2. Teori Pembelajaran Sosial (Bandura, 1977)
Anak meniru apa yang mereka lihat, di rumah, di sekolah, maupun secara digital. Perilaku agresi senior, guru, atau orang tua, serta paparan konten digital dan game kekerasan, menjadi model perilaku yang ditiru.
Permainan dengan unsur kekerasan dapat membuat anak terbiasa mengeluarkan kata-kata kasar atau menampilkan perilaku agresif dalam keseharian.
3. Perkembangan Otak Remaja
Secara neurologis, remaja berada dalam fase perkembangan otak yang belum matang (Casey et al., 2011). Akibatnya:












































