Fakta! 6 dari 10 Gen Z Indonesia Miliki Burnout Akibat Stres Kerja, Ini Cara Mengatasinya

1 week ago 8

Fimela.com, Jakarta Sahabat Fimela, fenomena burnout atau kelelahan mental akibat stres kerja kini menjadi sorotan utama, khususnya di kalangan Generasi Z (Gen Z) di Indonesia. Generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 ini, meskipun dikenal adaptif dan melek teknologi, ternyata menjadi kelompok yang paling rentan mengalami kelelahan ekstrem di lingkungan kerja.

Riset global dan nasional menunjukkan bahwa Gen Z adalah kelompok paling rentan mengalami burnout dan fatigue. Mereka mulai memasuki dunia kerja dalam jumlah besar, membawa serta tantangan baru dalam menjaga keseimbangan antara tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Pakar Kedokteran Komunitas, Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH, bahkan menyoroti bahwa burnout di kalangan Gen Z bukan lagi sekadar masalah personal, melainkan sudah menjadi isu kesehatan publik yang serius dan perlu perhatian. Kondisi ini bisa memengaruhi produktivitas dan kualitas hidup secara menyeluruh.

Mengenal Lebih Dekat Fenomena Burnout pada Gen Z

Burnout adalah kondisi stres berat yang dipicu oleh pekerjaan, menyebabkan penderitanya kehilangan semangat bekerja dan minat berinteraksi sosial. Survei Mercer Marsh Benefits (2023) mengungkapkan bahwa 52% Gen Z di 16 negara, termasuk Indonesia, mengalami stres setiap harinya.

Di Indonesia, gejala burnout yang paling sering dialami Gen Z adalah selalu merasa kelelahan, dengan persentase mencapai 27% dari 1.190 responden pada Juli 2023. Selain itu, 21% responden Gen Z merasa tidak berguna, dan 15% mengalami kesulitan tidur akibat kondisi ini. Dr. Ray Wagiu Basrowi menambahkan, studi yang dilakukannya bersama kaukus Masyarakat Peduli Kesehatan Jiwa menemukan bahwa jumlah pekerja Gen Z di industri keuangan di Indonesia yang mengalami kelelahan akibat faktor burnout dan stres kerja sangat banyak.

"Bahkan sekitar 6 dari 10 pekerja sektor keuangan usia muda mengeluhkan stres kerja dan burnout yang dirasakan sebagai mudah lelah atau tidak tahan tekanan. Padahal, realitanya mereka bukan lelah fisik karena pekerjaan tetapi karena salah satu faktornya adalah kurang work-life-balance, budaya kerja tanpa batas, dan tekanan sosial digital. Burnout di tempat kerja adalah alarm serius, bukan tanda kelemahan,” ujar Dr. Ray yang merupakan pendiri Health Collaborative Center (HCC) ini.

Faktor-faktor pemicu burnout pada Gen Z sangat beragam, meliputi:

  • Tekanan Performa Tinggi: Tuntutan untuk selalu berkinerja optimal.
  • Jam Kerja Fleksibel Tanpa Batas: Budaya "always online" yang mengaburkan batas antara kehidupan pribadi dan pekerjaan.
  • Tekanan Sosial Digital: Ekspektasi yang tidak realistis dari media sosial.
  • Ketidakpastian Karier dan Keuangan: Prospek pekerjaan yang tidak stabil dan masalah keuangan pribadi atau keluarga menjadi sumber tekanan besar.
  • Kurangnya Work-Life Balance: Ketidakmampuan menyeimbangkan pekerjaan dan kehidupan pribadi.

Dr. Ray Wagiu Basrowi menegaskan bahwa sekitar 6 dari 10 pekerja sektor keuangan usia muda mengeluhkan stres kerja dan burnout yang dirasakan sebagai mudah lelah atau tidak tahan tekanan. Padahal, realitanya mereka bukan lelah fisik karena pekerjaan tetapi karena salah satu faktornya adalah kurang work-life-balance, budaya kerja tanpa batas, dan tekanan sosial digital. Burnout di tempat kerja adalah alarm serius, bukan tanda kelemahan.

Dampak Serius Burnout pada Kualitas Hidup Gen Z

Burnout yang tidak ditangani dengan baik dapat memiliki dampak serius pada kualitas hidup seseorang, baik secara fisik maupun mental. Secara fisik, kondisi ini bisa menyebabkan penurunan imunitas tubuh, membuat Sahabat Fimela rentan terhadap penyakit seperti flu, pilek, sakit kepala kronis, dan sakit perut.

Gangguan tidur, seperti susah tidur atau insomnia, juga menjadi keluhan umum. Dalam jangka panjang, burnout meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular, hipertensi, dan bahkan beberapa jenis kanker, karena fluktuasi hormon kortisol yang memicu peradangan dalam tubuh.

Dari sisi kesehatan mental dan emosional, burnout dapat menyebabkan kehilangan motivasi dan semangat kerja yang signifikan. Penderitanya sering kali mengalami gangguan kecemasan dan depresi, perasaan tidak berguna atau tidak berdaya, serta kesulitan berkonsentrasi dan membuat keputusan.

Selain itu, individu yang mengalami burnout cenderung mudah marah dan menarik diri dari interaksi sosial. Dalam kasus ekstrem, burnout dapat memicu pikiran untuk menyakiti diri sendiri atau bunuh diri jika tidak mendapatkan penanganan yang tepat dan cepat. Kondisi ini secara signifikan menurunkan kualitas hidup karena berkorelasi negatif dengan kepuasan hidup, serta dapat memengaruhi hubungan personal dan profesional.

Strategi Efektif Mengatasi Burnout Akibat Stres Kerja

Mengatasi burnout membutuhkan pendekatan yang komprehensif dan kesadaran diri dari Sahabat Fimela. Langkah pertama dan terpenting adalah mengakui bahwa Anda sedang mengalami burnout, bukan sekadar kelelahan biasa.

Setelah itu, mencari dukungan adalah kunci. Berbicaralah dengan orang yang dipercaya, seperti teman, keluarga, atau rekan kerja yang memahami situasi Anda. Jika burnout disebabkan oleh atasan atau lingkungan kerja, jangan ragu untuk membicarakannya dengan atasan atau departemen HRD untuk mencari solusi, seperti penyesuaian beban kerja atau perubahan tim.

Menetapkan batasan dan prioritas juga sangat penting. Buat prioritas pekerjaan dan urutkan sesuai tenggat waktu, serta belajar mengatakan "tidak" pada pekerjaan di luar tanggung jawab atau ketika beban sudah terlalu banyak. Terapkan "hak untuk terputus" (rights to disconnect) dengan tidak membawa pekerjaan ke rumah dan menghabiskan waktu di luar jam kerja untuk diri sendiri, seperti yang ditekankan oleh Dr. Ray Wagiu Basrowi.

Menjaga keseimbangan hidup (work-life balance) adalah fondasi utama. Luangkan waktu untuk hobi dan aktivitas yang menenangkan, seperti yoga, meditasi, atau tai chi. Ambil istirahat secara berkala, termasuk cuti dari pekerjaan, untuk memulihkan energi fisik dan mental. Selain itu, ubah gaya hidup sehat dengan olahraga rutin, tidur yang cukup, pola makan sehat, serta hindari nikotin dan alkohol.

Terakhir, ubah pola pikir dengan fokus pada hal-hal yang dapat dikendalikan dan pisahkan apa yang berada di luar kendali Anda. Jika gejala burnout berlanjut atau memburuk, jangan ragu untuk mencari bantuan profesional dari psikolog atau psikiater untuk mendapatkan penanganan yang tepat. Ingatlah, burnout adalah kondisi serius yang memerlukan perhatian, dan dengan langkah yang tepat, Sahabat Fimela bisa kembali produktif dan berkualitas.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

Read Entire Article
Prestasi | | | |