Fimela.com, Jakarta Apakah kamu pernah merasa tidak betah di kantor? Mungkin juga perasaan ini yang sedang kamu rasakan. Entah karena beban kerja yang semakin berat, lingkungan kerja yang toxic, atau bahkan merasa kariermu mentok dan tidak berkembang.
Tapi di sisi lain, kamu tetap bertahan. Alasannya sederhana: takut sulit mendapat pekerjaan baru. Entah karena merasa tidak memiliki kompetensi untuk bersaing, atau sudah tidak memiliki pilihan lain. Fenomena ini dikenal dengan istilah Job Hugger, yaitu kondisi ketika seseorang tetap bertahan di pekerjaan yang sudah tidak mereka sukai karena rasa takut atau ketidakpastian masa depan.
Fenomena ini makin sering terjadi di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu dan persaingan kerja yang semakin ketat.
Ketika Tren Resign Turun
Data terbaru dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) per akhir Juli 2025 mencatat ada 42.385 pekerja yang mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) pada periode Januari hingga Juni 2025. Angka ini melonjak 32% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Lonjakan PHK ini memberi sinyal jelas bahwa dunia kerja sedang menghadapi tekanan berat. Akibatnya, banyak pekerja yang sebenarnya ingin pindah, tetapi memilih bertahan karena khawatir tidak akan mudah mendapatkan pekerjaan baru.
Bukan hanya di Indonesia, fenomena job hugger juga terlihat di berbagai negara lain. Menurut data dari Investopedia tahun 2025, tingkat pekerja yang mengajukan resign di Amerika Serikat menurun hingga 2%, yang merupakan level terendah dalam 10 tahun terakhir. Angka ini menunjukkan bahwa pekerja lebih memilih bermain aman dibandingkan mengambil risiko keluar dari pekerjaan lama.
Job Hugger ketika Seseorang Tak Lagi Memiliki Pilihan
Ada beberapa faktor utama yang membuat orang akhirnya bertahan meski sudah tidak betah di kantor:
1. Lesunya pasar kerja
Banyak perusahaan yang menahan diri untuk membuka lowongan baru. Istilahnya hiring freeze, yaitu kebijakan perusahaan yang menghentikan sementara proses perekrutan. Hal ini membuat peluang kerja semakin sedikit.
2. Teknologi dan AI mengambil alih
Perkembangan kecerdasan buatan (AI) memang memberi banyak manfaat, tapi juga mengurangi kebutuhan tenaga kerja di beberapa bidang. Beberapa posisi yang dulunya diisi manusia kini bisa digantikan dengan teknologi, sehingga kesempatan kerja semakin terbatas.
3. Takut gagal setelah resign
Rasa takut adalah faktor besar. Banyak orang khawatir tidak segera mendapatkan pekerjaan baru setelah resign, apalagi melihat tingginya angka PHK. Akibatnya, mereka lebih memilih bertahan meskipun sudah tidak nyaman.
4. Tidak ada jaminan kenaikan gaji
Laporan Glassdoor Worklife Trends 2025 mencatat bahwa sekalipun pekerja berhasil pindah kerja, mereka tidak selalu mengalami kenaikan gaji. Banyak kasus di mana gaji tetap sama meskipun posisi atau perusahaan berbeda. Kondisi ini membuat banyak pekerja berpikir dua kali untuk resign, apalagi ketika biaya hidup terus meningkat.Jadi, buat apa ambil risiko resign kalau hasilnya sama saja? Pemikiran ini cukup kuat menahan orang untuk tidak pindah.
Tak Memiliki Pilihan bukan Berarti Tidak Memiliki Risiko
Sekilas, bertahan terlihat lebih aman. Namun, menjadi job hugger punya risiko besar yang tidak boleh diabaikan. Salah satunya adalah burnout. Bekerja di tempat yang sudah tidak kamu sukai bisa membuatmu cepat lelah, kehilangan motivasi, bahkan merasa hampa. Burnout yang berkepanjangan bukan hanya menurunkan produktivitas, tetapi juga bisa berdampak serius pada kesehatan mental dan fisik.
Selain burnout, ada risiko lain yaitu stagnasi karier. Dengan bertahan terlalu lama di tempat yang tidak sesuai, kamu kehilangan kesempatan untuk berkembang. Alih-alih mencari peluang baru yang lebih menantang, kamu justru terjebak di rutinitas yang tidak memberikan nilai tambah.
Jika tidak segera diatasi, maka kondisi ini tak hanya memengaruhi kondisi mental tapi juga fisikmu.
Apa yang Bisa Kamu Lakukan?
Kalau kamu merasa sedang ada di posisi ini, jangan panik. Ada beberapa langkah yang bisa kamu lakukan untuk menghadapi fenomena job hugger:
1. Evaluasi kebutuhanmu
Coba tanyakan pada diri sendiri: apa sebenarnya yang membuatmu tidak betah? Apakah beban kerja terlalu berat, lingkungan kerja yang tidak sehat, atau jalur karier yang tidak jelas? Dengan memahami masalah utama, kamu bisa menentukan langkah berikutnya dengan lebih bijak.
2. Siapkan rencana cadangan
Jika resign memang menjadi pilihan terbaik, jangan terburu-buru. Pastikan kamu memiliki backup plan. Simpan dana darurat minimal untuk kebutuhan 3–6 bulan, sehingga kamu punya ruang untuk bernapas jika butuh waktu mencari pekerjaan baru.
3. Upgrade skill
Dunia kerja saat ini bergerak cepat. Dengan persaingan yang semakin ketat, penting untuk terus mengasah kemampuan. Belajar skill baru, terutama yang berkaitan dengan teknologi atau industri yang sedang berkembang, bisa membuka lebih banyak peluang kerja.
4. Bangun jaringan
Jangan remehkan kekuatan networking. Hubungan baik dengan rekan kerja, komunitas profesional, atau mentor bisa membantumu menemukan peluang yang tidak selalu tersedia di iklan lowongan kerja.
5. Cari peluang secara bertahap
Kamu tidak harus langsung resign. Mulailah mencari informasi tentang perusahaan lain, ikuti proses rekrutmen, atau coba pekerjaan sampingan sambil tetap bekerja. Dengan cara ini, kamu bisa memastikan langkahmu lebih aman.
Bertahan atau Melangkah?
Pada akhirnya, menjadi job hugger adalah pilihan yang banyak orang ambil karena situasi. Bertahan memang memberi rasa aman sementara, tapi jangan sampai membuatmu kehilangan arah dan kesempatan berkembang. Ingat, karier adalah perjalanan jangka panjang.
Kalau kamu merasa tidak betah, jangan diabaikan. Dengarkan dirimu sendiri, buat strategi, dan siapkan langkah yang tepat. Bertahan boleh saja, tapi pastikan keputusanmu membawa kebaikan, bukan hanya untuk hari ini, melainkan juga untuk masa depanmu.
Evaluasi diri, perencanaan keuangan, pengembangan skill, dan jaringan yang kuat, kamu bisa menentukan pilihan terbaik: bertahan atau melangkah ke peluang baru.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.