Fenomena Makin Bertambah Usia, Makin Sering Menangis: Apa Penyebabnya?

1 month ago 17

Fimela.com, Jakarta Saat masih kecil, di antara kita mungkin ada yang diajari menahan tangis sebagai tanda kekuatan. Konon, menangis tanda lemah. Tapi semakin dewasa, air mata justru terasa lebih akrab. Bukan hanya karena luka atau kehilangan besar, tetapi kadang untuk hal sederhana: lagu lama, ucapan anak kecil, atau bahkan aroma kenangan. Tangis tak lagi soal kesedihan, melainkan luapan yang sulit dibendung.

Sahabat Fimela, ada perubahan yang terjadi di dalam diri kita seiring bertambahnya usia, yang bukan hanya secara fisik, tapi juga emosional dan neurologis. Tangisan menjadi bahasa batin yang lebih fasih kita gunakan. Kali ini kita akan akan masuk ke sisi terdalam dari fenomena ini, yang mungkin sedang kita alami di fase usia dewasa ini.

1. Emosi yang Tidak Lagi Ditahan, tapi Diterima dengan Apa Adanya

Seiring waktu, banyak dari kita mulai melihat dunia dengan kacamata berbeda. Usia mengikis keinginan untuk terlihat tangguh setiap waktu. Kita belajar bahwa menangis bukan tanda lemah, tapi bentuk kedewasaan emosional.

Di usia 30-an, 40-an, atau lebih, seseorang cenderung lebih peka terhadap nilai-nilai hidup, kehilangan, dan kehangatan yang dulu mungkin dianggap sepele. Film yang dulu terasa biasa, kini bisa membuat mata berkaca-kaca hanya karena ada adegan ayah memeluk anaknya. Tangis datang bukan dari luka, tapi dari pemahaman yang mendalam akan arti hidup.

Sahabat Fimela, ini bukan kelemahan. Ini adalah kemampuan baru: memberi ruang pada perasaan untuk bernapas. Usia mengajarkan bahwa tidak semua hal harus ditahan. Terkadang, kelegaan justru datang dari mengalirkan air mata dengan ikhlas.

2. Pengaruh Hormon Prolaktin

Secara biologis, tubuh juga ikut andil dalam kebiasaan menangis yang makin sering. Salah satu hormon yang berperan besar adalah prolaktin. Hormon ini memang lebih dikenal sebagai pendukung produksi ASI, tetapi ternyata juga punya andil dalam pengendalian emosi dan dorongan untuk menangis.

Kadar prolaktin cenderung meningkat seiring usia, terutama pada perempuan. Meski kadar hormon ini dipengaruhi oleh banyak faktor (seperti kelelahan, stres, atau kondisi hormonal lainnya), hormon ini sering menjadi ‘penguat’ sensasi emosi. Maka tak heran, menangis saat mendengar kabar bahagia atau sedih menjadi reaksi yang lebih mudah muncul.

Uniknya, peran prolaktin ini juga menjelaskan mengapa beberapa orang merasa lebih lega setelah menangis. Tangisan seolah menjadi pelepasan alami tubuh untuk membersihkan ‘kekusutan’ di dalam diri.

3. Lapisan Memori Emosional yang Makin Kompleks

Tahukah Sahabat Fimela, ada bagian otak yang disebut prefrontal cortex—pusat kendali logika dan penalaran kita. Seiring bertambahnya usia, bagian ini memang tidak menurun drastis, tetapi mulai mengalami perubahan dalam cara memproses informasi dan emosi.

Jika dulu otak cepat menyaring mana yang penting dan tidak, kini ia lebih mudah memberi ruang pada kenangan, pengalaman hidup, dan pemaknaan mendalam. Inilah sebabnya tangisan bisa muncul dari sesuatu yang sebenarnya tidak ‘dramatis’.

Otak orang dewasa lebih terhubung dengan lapisan memori emosional yang kompleks. Seorang lansia bisa menangis hanya karena melihat foto masa kecil yang usang. Bukan karena sedih, tapi karena otaknya menyusun ulang makna tentang waktu, kehilangan, dan keberadaan dirinya di dunia.

4. Keletihan yang Tidak Lagi Bersifat Fisik

Jika saat muda lelah berarti kehabisan tenaga, maka di usia matang, keletihan menjadi lebih abstrak. Banyak orang menangis bukan karena letih secara fisik, tapi karena tekanan emosional yang menumpuk: peran ganda, ekspektasi sosial, tuntutan pekerjaan, atau bahkan kesepian yang tak kentara.

Sahabat Fimela, tidur yang tak nyenyak dan stres berkepanjangan juga membuat kemampuan regulasi emosi melemah. Tangisan pun menjadi pelarian yang alami. Ini bukan drama, tapi sinyal bahwa tubuh dan jiwa butuh perhatian lebih.

Jadi, jika kamu lebih sering menangis belakangan ini, bisa jadi itu adalah bentuk komunikasi tubuh yang sedang meminta kelembutan, bukan penghakiman.

5. Lingkar Sosial yang Menjadi Cermin Emosi

Menariknya, seiring bertambahnya usia, seseorang biasanya lebih selektif dalam memilih teman bicara. Kita tak lagi punya banyak waktu untuk basa-basi, melainkan lebih menghargai keintiman emosional. Ketika berbicara dengan seseorang yang membuat kita merasa aman, tangisan menjadi jauh lebih mungkin muncul.

Ini menjelaskan kenapa kita bisa menangis hanya karena mendengar teman lama berkata, “Aku bangga padamu.” Tangisan di usia dewasa sering kali muncul dari hal-hal kecil yang menyentuh hati, bukan karena trauma besar.

Hubungan yang jujur dan saling mendukung membuat seseorang lebih berani membuka lapisan terdalam emosinya. Dan di situlah tangis menjadi tanda kepercayaan, bukan kelemahan.

6. Kenangan yang Makin Penuh Warna

Ada satu hal yang tak bisa dihindari oleh siapapun: akumulasi kenangan. Setiap momen dalam hidup membentuk lapisan-lapisan memori yang sering kali muncul tanpa diminta. Seiring bertambahnya usia, lapisan ini menjadi makin kompleks dan menyentuh.

Ingatan tentang masa lalu tak selalu hadir dalam bentuk narasi panjang. Kadang hanya dari bau tertentu, lagu lawas, atau tempat yang sudah lama tak dikunjungi, air mata bisa datang tanpa aba-aba.

Ini bukan nostalgia semata. Ini adalah respons otentik dari otak dan hati yang telah melalui banyak cerita. Tangis di titik ini adalah perayaan diam-diam atas semua yang telah dilalui.

7. Rasa Syukur yang Menguat

Fenomena yang jarang dibicarakan adalah ini: bahwa banyak tangisan di usia dewasa justru datang dari rasa syukur. Saat seseorang merasa benar-benar hadir di hidupnya, menyadari bahwa ia telah bertahan, tumbuh, dan melewati badai—air mata pun mengalir bukan karena luka, melainkan karena penuh.

Sahabat Fimela, mungkin kamu pernah duduk sendiri di pagi hari, memegang secangkir teh hangat, dan tiba-tiba menangis. Bukan karena sedih, tapi karena merasa cukup. Cukup atas semua yang telah terjadi, cukup atas semua yang telah kamu pelajari.

Tangisan syukur seperti ini adalah bentuk tertinggi dari pemaknaan hidup. Ia tak butuh kata-kata, hanya keheningan yang menyentuh hingga ke dalam jiwa.

Menangis bukan pertanda kamu melemah di usia yang makin dewasa. Justru itu tanda kamu semakin peka dalam memahami perasaan. Akan tetapi jika kamu mulai merasa kesehatan mental ikut terpengaruhi atau menurun, ada baiknya untuk mencari bantuan profesional seperti ke psikolog atau psikiater, ya.

Tangisan bukan kelemahan, melainkan kedalaman. Tangisan bisa jadi merupakan jejak dari jiwa yang telah melewati berbagai bentuk kehidupan dan masih memilih untuk merasa. Semakin kita dewasa, semakin kita tahu: tidak ada kekuatan yang lebih besar dari keberanian untuk merasakan, meski lewat air mata.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Prestasi | | | |