Fimela.com, Jakarta Ada yang unik dari perayaan kemerdekaan di negeri ini tiap tahunnya. Bukan hanya bendera merah putih yang berkibar atau riuhnya lomba panjat pinang, tetapi juga aroma masakan khas yang menguar dari dapur warga. Di antara gegap gempita itu, ada dua hidangan yang selalu menempati ruang istimewa di hati: tumpeng yang megah dan bubur merah putih yang sederhana. Keduanya bukan sekadar makanan, melainkan mengandung makna yang kuat nan bersahaja.
Menariknya, filosofi yang melekat pada dua hidangan ini tidak berhenti di meja perayaan. Di tangan yang kreatif, tumpeng dan bubur bisa menjadi pintu menuju peluang bisnis yang menggiurkan. Momen yang dulunya hanya tentang rasa syukur kini merambah menjadi ladang rezeki musiman, bahkan berpotensi berlanjut sepanjang tahun.
1. Dari Lambang Kemakmuran hingga Semangkuk Simbol Nasionalisme
Bagi banyak warga, tumpeng bukan sekadar nasi kuning berbentuk kerucut dengan lauk mengelilinginya. Bentuknya yang menjulang ke atas menyerupai gunung adalah simbol kemuliaan.
Masyarakat Jawa yang memuliakan gunung percaya bahwa membuat tumpeng adalah doa agar kemuliaan itu tercurah dalam hidup. Warna kuningnya diibaratkan emas, lambang kemakmuran, keberhasilan, dan kejayaan yang ingin dipertahankan.
Di momen 17 Agustus, tumpeng menjadi pernyataan visual bahwa kemerdekaan yang kita nikmati adalah hasil dari perjuangan panjang yang patut disyukuri.
Selain tumpung, biasanya juga ada bubur merah putih yang tampil lebih sederhana, tetapi tak kalah sarat makna. Warna merahnya melambangkan keberanian, putihnya melambangkan kesucian hati.
Disajikan dalam porsi kecil untuk seluruh warga yang hadir, bubur ini mengajarkan nilai kesetaraan: semua orang mendapat bagian yang sama, tanpa memandang status atau peran. Filosofi ini sejalan dengan cita-cita kemerdekaan itu sendiri.
Kita mungkin juga menyadari, bubur merah putih kerap hadir dalam momen syukuran warga, dari kelahiran bayi hingga peresmian rumah baru. Hal ini menunjukkan betapa bersahajanya filosofi kuliner ini untuk berbagai perayaan. Makna nasionalismenya bukan hanya terbatas di bulan Agustus, tetapi memiliki makna yang relevan sepanjang tahun di momen-momen spesial dan istimewa.
2. Pesta Rasa yang Menyatukan Warga
Ada satu momen setelah lomba tarik tambang atau balap karung yang sering mengundang senyum kolektif: saat hidangan mulai dihidangkan.
Tumpeng di tengah meja, bubur merah putih di mangkuk-mangkuk, dan kue pasar berwarna-warni di nampan rotan. Semua ini menciptakan pemandangan yang begitu indah, kuliner ibarat menjadi bahasa universal yang mempersatukan semua orang dari berbagai kalangan dan usia.
Kue-kue tradisional seperti klepon, apem, dan nagasari menambah dimensi rasa dan cerita.
Klepon dengan gula merah yang meledak di mulut melambangkan kejutan manis dalam kebersamaan. Apem yang lembut mengisyaratkan sifat memaafkan dan menerima, sementara nagasari yang berlapis daun pisang mengajarkan kesederhanaan yang membungkus keindahan di dalamnya.
Filosofi ini pun bisa dimaknai secara berbeda-beda, tergantung dengan makna dan harapan yang ingin ditekankan.
Inilah kekuatan kuliner tradisi: masakan atau makanan yang disajikan tak hanya memberi rasa kenyang, tetapi juga menanamkan memori kolektif yang mempererat ikatan sosial.
Ada ikatan silaturahmi yang diperkuat dan makin hangat dalam momen spesial ini. Hidangan 17 Agustusan adalah medium yang membawa pesan: kita berbeda-beda, tetapi dengan duduk di meja yang sama ada kesatuan dan keutuhan yang bisa dijaga bersama.
3. Dari Dapur ke Pasar: Tradisi yang Menjadi Rezeki
Di balik semua simbol dan kebersamaan itu, ada denyut ekonomi yang ikut menguat.
Setiap bulan Agustus, pesanan tumpeng mini biasanya melonjak. Bubur merah putih dijual dalam kemasan praktis yang bisa dipesan via media sosial.
Kue tradisional dikemas cantik dan ditawarkan sebagai paket hampers kemerdekaan. Para pelaku UMKM membaca peluang ini dengan cermat, dan menjadikannya momentum untuk memperluas pasar.
Permintaan yang tinggi di bulan Agustus kerap menjadi titik awal semangat baru.
Banyak penjual yang awalnya hanya memproduksi untuk momen 17 Agustusan, lalu melanjutkan usaha hingga akhir tahun.
Kreativitas dalam menyesuaikan menu dengan tren, seperti tumpeng mini untuk pesta ulang tahun atau bubur merah putih untuk syukuran modern, membuktikan bahwa warisan kuliner ini mampu beradaptasi dengan kebutuhan zaman.
Merayakan kemerdekaan lewat kuliner ternyata bisa sekaligus membuka jalan menuju kemandirian ekonomi. Dari dapur rumahan hingga pesanan korporat, tumpeng dan bubur merah putih mengajarkan bahwa rasa syukur tak hanya diungkapkan lewat doa, tetapi juga lewat berkah rezeki yang makin bertambah.
Di perayaan hari kemerdekaan Indonesia, masyarakat akan ramai-ramai memeriahkannya melalui ragam tradisi. Mulai dari menikmati sajian yang sarat makna hingga menggelar acara doa bersama.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.