loading...
Listya Endang Artiani, Ekonom Universitas Islam Indonesia (UII). Foto/Dok. SindoNews
Listya Endang Artiani
Ekonom Universitas Islam Indonesia (UII)
DI TENGAH klaim bahwa inflasi Indonesia tetap terjaga, banyak masyarakat justru merasakan sebaliknya. Di mana harga kebutuhan pokok meningkat, cicilan terasa berat, dan ruang konsumsi makin sempit. Ada jarak yang semakin lebar antara narasi makro yang optimistis dengan kenyataan mikro di dompet rumah tangga. Kebijakan moneter dan dinamika nilai tukar rupiah berada tepat di pusat ketegangan ini.
Bank Indonesia (BI) memang memikul mandat klasik yaitu menjaga stabilitas nilai rupiah, baik melalui inflasi maupun nilai tukar. Dalam beberapa tahun terakhir, BI mengambil posisi konservatif yang sangat berhati-hati.
Suku bunga ditahan lama pada level tinggi untuk menahan inflasi dan mempertahankan daya tarik aset rupiah. Saat ruang untuk menurunkanbunga muncul, langkah itu dilakukan perlahan, seakan setiap basis poin adalah taruhan besar.
Sikap ini dapa dimengerti dunia sedang berada dalam fase ketidakpastian, suku bunga global tinggi, dan arus modal mudah berpindah hanya karena satu komentar Federal Reserve. Namun, sikap konservatif ini mulai menimbulkan pertanyaan: apakah stabilitas semata masih cukup untuk menjawab tekanan ekonomi masyarakat?
Rupiah sendiri bergerak dalam tekanan struktural yang tak sederhana. Bahkan ketika inflasi terkendali, mata uang tetap rapuh terhadap guncangan eksternal. Ketergantungan terhadap komoditas menjadikan pendapatan devisa volatil. Di sisi lain, kebutuhan impor pangan, energi, dan barang modal tetap tinggi.
Kombinasi ini membuat kurs rupiah sangat sensitif terhadap perubahan selera investor global. Setiap episode risk-off, setiap indikasi kenaikan suku bunga Amerika, langsung memukul rupiah. Intervensi BI memang mampu meredam gejolak jangka pendek, tetapi tidak menyelesaikan persoalan fundamental: ekonomi Indonesia belum menghasilkan cukup banyak barang yang diminati dunia.














































