loading...
Harryanto Aryodiguno, Ph.D, Associate Professor of International Relations, President University. Foto/Dok. SindoNews
Harryanto Aryodiguno, Ph.D
Associate Professor of International Relations, President University
PADA suatu sore yang teduh di Jakarta, ketika lampu-lampu gedung mulai menyala menembus langit gelap dan jalan layang dipenuhi kendaraan yang bergerak perlahan, kota ini memantulkan kesan bahwa sebuah bangsa sedang melaju. Dari balik jendela gedung di lantai empat puluh, denyut kota terlihat seperti pertanda kemajuan—peradaban yang terus tumbuh, ekonomi yang mengembang, dan masyarakat yang perlahan mendekati imajinasi Indonesia Emas 2045.
Namun di balik gemerlap itu, ada sebuah kesan keliru yang telah lama membungkus pikiran banyak pengambil Keputusan, yaitu keyakinan bahwa Indonesia dapat dibaca melalui kilau kota besar, seolah realitas nasional tercermin dari ritme urban di pusat modernitas. Kesan menipu ini kini kian menguat sebagai Ilusi Indonesia.
Dalam teori global governance, fenomena seperti ini sering disebut sebagai governance illusion. Keadaan ketika elite melihat bangsa bukan sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana yang mereka bayangkan dari pusat kekuasaan, dengan semua bias kenyamanan dan simbol kemajuannya.
Dalam ruang yang nyaman dan bercahaya itu, Indonesia seolah tampak stabil. Namun hanya perlu melangkah jauh sedikit dari radius pusat kota untuk menyadari bahwa kenyataan jauh berbeda. Dari desa-desa yang tertinggal hingga kota-kota kabupaten yang bergulat dengan ketidakpastian, terbentang relung sosial yang sama sekali tidak tercermin dalam cahaya kaca gedung ibu kota.
Inilah kesenjangan tata kelola yang oleh para ilmuwan politik disebut sebagai capacity gap. Suatu kondisi ketika kemampuan negara menjalankan amanat pembangunan jauh tertinggal dari ambisi dan retorika yang dikumandangkan dari pusat.
Ilusi Indonesia menyempitkan cakrawala nasional. Ketika jalan kota besar macet, ia dianggap masalah nasional; ketika gedung baru berdiri megah, diasumsikan Indonesia telah melangkah maju. Padahal realitasnya jauh lebih kompleks.














































