Organisasi, Ego, dan Pencarian Kebersamaan

2 hours ago 5

loading...

Dosen Universitas Darunnajah (UDN) Jakarta Muhammad Irfanudin Kurniawan. Foto/Istimewa.

Muhammad Irfanudin Kurniawan, Dosen Universitas Darunnajah (UDN) Jakarta

Pagi itu, seorang kiai sepuh duduk di teras pesantrennya, memandang jauh. Di tangannya terbuka kitab Al-Hikam. Matanya membaca kalimat yang telah dihafalnya puluhan tahun: “Alaa kullun yasiru limaa khuliqa lahu”—bukankah setiap sesuatu dimudahkan untuk tujuan penciptaannya? Namun hatinya gelisah. Organisasi yang ia cintai, yang dibesarkannya dengan doa dan keringat, kini terbelah.

Ini bukan kisah fiksi. Ini gambaran dari konflik yang tengah terjadi di PBNU—organisasi Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Di balik tarik-menarik kepemimpinan, isu aliran dana, dan dinamika kekuasaan, tersimpan pertanyaan yang lebih mendasar: mengapa kita, yang mengajarkan tasawuf tentang melepas ego, justru terjebak dalam perebutan ego kolektif?

Manusia dan Organisasi

Psikolog organisasi Edgar Schein menjelaskan bahwa setiap organisasi memiliki tiga lapisan budaya: artefak yang tampak, nilai-nilai yang dideklarasikan, dan asumsi dasar yang sering kali tidak disadari. PBNU mungkin mendeklarasikan nilai akhlakul karimah, tetapi asumsi bawah sadar tentang kekuasaan, pengaruh, dan legitimasi bisa saja bergerak ke arah yang berlawanan.

Inilah yang oleh Chris Argyris disebut sebagai perbedaan antara espoused theory dan theory-in-use. Kita berbicara tentang ikhlas, tawakal, dan ridha, tetapi dalam praktik sehari-hari yang bekerja justru logika bertahan hidup, pertarungan pengaruh, dan perlindungan kepentingan.

Dan ini, pada batas tertentu, adalah sesuatu yang manusiawi.

Seorang pengurus organisasi besar pernah bercerita, “Saat pertama kali mendapat jabatan, yang saya rasakan bukan beban amanah, tetapi sensasi dipandang. Orang-orang tiba-tiba menghormati, mengalah di rapat, menelepon meminta tolong. Itu memabukkan.”

Read Entire Article
Prestasi | | | |