loading...
Karyono Wibowo, Sekretaris Dewan Pakar DPP PA GMNI. Foto/Istimewa
Karyono Wibowo
Sekretaris Dewan Pakar DPP PA GMNI
ARUS informasi saat ini tidak lagi mengalir secara netral. Ia disaring, dipilah, dan diarahkan oleh algoritma—mekanisme matematis yang bekerja di balik layar platform digital untuk menentukan apa yang kita lihat, baca, dan percayai. Dalam kehidupan sehari-hari, algoritma ikut menentukan berita apa yang muncul di beranda, isu apa yang dianggap penting, bahkan emosi apa yang dibangkitkan. Dalam situasi semacam ini, Pancasila tidak sedang berhadapan dengan ideologi lain secara frontal, tatap muka (vis a vis), melainkan diuji dalam senyap di ruang digital: apakah ia mampu bertahan sebagai kerangka etis di tengah logika algoritmik yang mengutamakan atensi, emosi, dan keterbelahan?
Ujian tersebut semakin nyata dalam konteks demokrasi elektoral. Pemilu kini tidak hanya ditentukan oleh adu gagasan dan rekam jejak kandidat, tetapi juga oleh bagaimana perhatian publik dikelola di ruang digital. Kampanye politik memanfaatkan media sosial, analisis data, dan kecerdasan artifisial (AI) untuk memproduksi pesan secara masif dan terpersonalisasi. Laporan berbagai lembaga internasional menunjukkan bahwa praktik micro-targeting politik berbasis data personal telah menjadi fenomena global, dengan risiko manipulasi persepsi pemilih yang sulit terdeteksi secara kasat mata.
Algoritma media sosial pada dasarnya dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna. Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Science menunjukkan bahwa konten bermuatan emosi—terutama kemarahan dan ketakutan—menyebar jauh lebih cepat dibandingkan informasi faktual yang netral (Vosoughi, Roy, & Aral). Logika ini mendorong komunikasi politik yang sensasional dan simplistis. Akibatnya, ruang publik digital semakin terfragmentasi. Individu terkurung dalam echo chamber, hanya berinteraksi dengan pandangan yang mengafirmasi keyakinannya sendiri.
Cass Sunstein mengingatkan bahwa kondisi ini berbahaya bagi demokrasi karena warga tidak lagi berbagi kerangka fakta yang sama sebagai dasar diskusi publik. Fragmentasi tersebut berkelindan dengan polarisasi politik dan sosial. Algoritma tidak menciptakan perbedaan, tetapi memperdalam dan memperkerasnya. Riset Iyengar dan koleganya menunjukkan bahwa polarisasi kontemporer tidak lagi semata perbedaan ideologi, melainkan polarisasi afektif—perasaan tidak suka, curiga, bahkan benci terhadap kelompok lain.
Dalam konteks pemilu, lawan politik dengan mudah dipersepsikan sebagai ancaman eksistensial, bukan sebagai sesama warga negara yang sah. Demokrasi pun bergeser dari ruang deliberasi menuju arena konflik emosional yang terus direproduksi oleh mesin algoritmik. Di sinilah banalitas kebenaran menemukan momentumnya.














































