loading...
Fronx menjadi harapan Suzuki untuk terus relevan di pasar di 2025. Foto: SIS
JAKARTA - Gegap gempita peluncuran puluhan mobil baru di ajang GIIAS 2025 kontras dengan kenyataan pahit yang tengah dihadapi industri otomotif nasional. Di balik panggung yang gemerlap, para pemain besar sedang menghadapi "badai" ganda: pasar yang lesu dan perang harga yang semakin brutal.
Salah satu raksasa otomotif yang secara terbuka mengakui tantangan ini adalah Suzuki. Pabrikan asal Jepang ini tidak menutupi fakta bahwa mereka harus melakukan sejumlah langkah strategis, termasuk "mengencangkan ikat pinggang" di lini produksi mereka.
Saat Perang Harga Tak Lagi Sehat
Shodiq Wicaksono, Managing Director Suzuki Indomobil Motor (SIM), dengan jujur memaparkan kondisi yang ada. Menurutnya, perang diskon dan banting harga adalah hal yang wajar dalam dunia pemasaran. Namun, strategi itu menjadi pedang bermata dua ketika daya beli masyarakat juga sedang menurun.
"Kalau perang harga menurut saya itu hal yang wajar. Tapi kan kemudian ini menjadi sangat bermasalah ketika pasarnya juga turun," ujar Shodiq di sela-sela GIIAS 2025.
Ia menjelaskan bahwa kondisi ini menciptakan efek domino yang menyakitkan. Saat produksi mobil menurun untuk menyesuaikan dengan permintaan, biaya tetap per unit menjadi lebih tinggi. Beban ini tidak hanya dirasakan oleh Suzuki, tetapi juga oleh seluruh rantai pasoknya.















































