Pedagang Tolak Larangan Penjualan Rokok di Pasar Tradisional

9 hours ago 8

loading...

Diskusi publik bertajuk Mengukur Dampak Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Terhadap Pasar Tradisional yang digelar APPSI. Foto/Istimewa

JAKARTA - Asosiasi Pedagang Pasar Seluruh Indonesia (APPSI) menolak larangan penjualan rokok di pasar tradisional. Mereka meminta regulasi Kawasan Tanpa Rokok (KTR) lebih proporsional, menyeimbangkan antara ekonomi rakyat dan aspek kesehatan.

Hal tersebut terungkap dalam diskusi publik bertajuk 'Mengukur Dampak Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) Terhadap Pasar Tradisional' yang digelar APPSI di Hotel Alia Cikini, di Jakarta, Selasa (9/12/2025).

Ketua DPW APPSI DKI Jakarta Ngadiran mengusulkan istilah Kawasan Tanpa Rokok (KTR) diubah menjadi Kawasan Dilarang Rokok (KDR), yang dianggap lebih memihak pada pedagang pasar. Dia mengungkapkan kekhawatiran pedagang pasar tradisional yang sudah tertekan oleh sepinya pengunjung dan masalah retribusi.

Baca juga: Protes Larangan Jual Rokok di Raperda KTR, Ratusan Pedagang Geruduk DPRD DKI

Dia menuturkan bahwa penerapan KTR justru akan semakin membebani dan merugikan pedagang. “Raperda ini harus berpihak pada pedagang. Jangan sampai aturan kesehatan justru mematikan UMKM di pasar,” kata Ngadiran.

APPSI, kata dia, tidak menuntut penghapusan tunggakan retribusi, melainkan keringanan atau diskon, khususnya bagi pedagang yang terdampak pandemi dan kondisi ekonomi.

Sementara itu, Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Zaenal Muttaqin menuturkan bahwa dalam hukum ekonomi harus dicari titik optimasi, yang sama-sama enak. Pendapatan harus tetap, dalam batas tertoleransi.

“Tidak turun-turun banget, tapi masih bisa memberikan ruang orang untuk merokok, dan efek ekstralitasnya tidak terlalu tinggi hingga terjadi win-win solution," ujarnya.

Zainal menyebutkan, ada data kematian terjadi di Indonesia kebanyakan pertama karena stroke dan yang kedua karena akibat penyakit jantung, yang terasosiasi, akibat rokok. Artinya, kata dia, naiknya pendapatan, dibarengi angka kematian yang tinggi, karena banyak orang yang merokok.

Diakuinya bahwa data menunjukkan pendapatan negara naik karena rokok. "Jadi, mau memperoleh pendapatan tinggi tapi banyak yang mati karena terpapar asap rokok. Tapi, kalau kita lihat dari sisi pendapatan, pendapatan negara dari rokok mengalami kenaikan. Pendapatan di ujung tahun 2022, mencapai 218, 62 triliun. Data terakhir tahun 2025, pendapatan mencapai 216 triliun,” ujarnya.

Read Entire Article
Prestasi | | | |