loading...
Ramadhan, Ketua PB PMII dan Aktivis Gerakan. Foto/istimewa
Ramadhan
Ketua PB PMII dan Aktivis Gerakan
DEMONSTRASI besar yang berujung menjadi kerusuhan di depan Gedung DPR dan di sejumlah titik di Jakarta pada 25-31 Agustus 2025 menjadi babak kelam dalam sejarah gerakan massa di Indonesia.
Aksi yang semula damai dengan tuntutan penolakan kenaikan tunjangan DPR, berubah menjadi kericuhan, perusakan fasilitas umum, hingga pembakaran kendaraan. Insiden ini, yang juga meluas ke berbagai kota besar, mencerminkan tingkat kekecewaan publik yang begitu mendalam.
Peristiwa tragis ini, yang mencapai puncaknya dengan tewasnya seorang pengemudi ojek online, Affan Kurniawan, yang terlindas kendaraan taktis Brimob, menunjukkan bahwa dialog publik yang seharusnya menjadi solusi, justru terperangkap dalam siklus yang mengikis kepercayaan dan membekukan suara-suara yang konstruktif.
Situasi ini mendesak kita untuk merenung dan meninjau kembali pondasi komunikasi publik di negara ini.
Era Post-Truth, Spiral of Silence, dan Narasi Silent Majority.
Mengapa dialog di Indonesia menjadi begitu sulit pasca-demonstrasi besar? Jawabannya terletak pada tiga fenomena kunci yang saling terkait dan menghambat komunikasi, yakni, era post-truth, spiral of silence, dan narasi silent majority.
Ketiganya bekerja dalam sebuah siklus yang mengikis kepercayaan publik, menumpulkan rasionalitas, dan membekukan suara-suara yang kritis konstruktif.
Masing-masing fenomena ini tidak berdiri sendiri, melainkan saling memperkuat dalam sebuah ekosistem komunikasi yang kian kompleks.
Dalam era post-truth, fakta objektif kerap dikalahkan oleh daya tarik emosi dan keyakinan pribadi. Konsep ini dipopulerkan oleh Ralph Keyes dalam bukunya The Post-Truth Era (2004) dan didefinisikan oleh Oxford Dictionaries (2016) sebagai kondisi di mana fakta memiliki pengaruh yang lebih kecil daripada emosi dalam membentuk opini.