loading...
Sentimen negatif terhadap sektor ini kian menguat, terutama terkait dampak lingkungan dan konservasi. FOTO/iStock
JAKARTA - Polemik penambangan nikel di Raja Ampat kembali memicu perdebatan mengenai masa depan industri pertambangan di Indonesia. Sentimen negatif terhadap sektor ini kian menguat, terutama terkait dampak lingkungan dan konservasi. Namun, di tengah kritik yang mengemuka, pelaku industri meyakini bahwa pertambangan tetap menjadi pilar penting bagi perekonomian dan transisi energi nasional.
Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi Mineral dan Batubara (ASPEBINDO), Anggawira, menegaskan bahwa Indonesia masih sangat bergantung pada sektor pertambangan, bukan hanya sebagai sumber devisa, tetapi juga sebagai pendukung teknologi masa depan.
"Tanpa nikel dan tembaga dari Indonesia, dunia akan kesulitan memenuhi kebutuhan baterai kendaraan listrik, energi bersih, dan digitalisasi," ujar dia dalam pernyataan resmi, Senin (9/6).
Baca Juga: Amman Lanjutkan Penambangan Fase 8 di Batu Hijau, Cadangan Capai 460 Juta Ton
Anggawira menyebutkan, sektor pertambangan menyumbang 6-7% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, menyerap ratusan ribu tenaga kerja, serta memberikan penerimaan negara berupa pajak dan royalti yang terus meningkat. Ia juga menyoroti keberadaan UU No. 3 Tahun 2020 dan PP No. 96 Tahun 2021 yang mengatur pengelolaan tambang berbasis nilai tambah, lingkungan, dan partisipasi masyarakat.