Fimela.com, Jakarta Capek fisik bisa istirahat, tapi kalau capek mental alias burnout? Itu yang lebih sulit ditangani. WHO bahkan sudah mengakui burnout sebagai akibat dari stres panjang yang nggak terkelola dengan baik. Sistem kerja hybrid memang fleksibel, tapi juga bisa bikin energi cepat habis. Bayangin harus bolak-balik adaptasi antara kerja di kantor dan kerja di rumah. Lama-lama, batas antara urusan kerja dan urusan pribadi jadi tidak jelas.
Bersumber dari laman hrone.cloud ada banyak penyebab burnout saat kerja hybrid. Pertama, tidak ada batas jelas antara kerja dan kehidupan pribadi sehingga membuat jam kerja sering berlarut. Kedua, rasa kesepian muncul karena interaksi tatap muka makin berkurang. Ketiga, pekerja hybrid sering merasa harus selalu siap sedia dan produktif, padahal itu membuat fisik dan mental lebih capek.
Masalah lain datang dari komunikasi. Survei Fishbowl menemukan lebih dari separuh pekerja dibuat bingung dengan sistem kerja hybrid di kantornya. Ditambah lagi bedanya zona waktu, komunikasi yang serba digital, dan minimnya bahasa tubuh yang membuat mudah salah paham. Ujung-ujungnya, masalah komunikasi ini bikin stres makin numpuk dan burnout susah dihindari.
Beberapa strategi efektif cegah burnout di era kerja hybrid
Salah satu cara paling efektif untuk mencegah burnout pada sistem kerja hybrid adalah dengan menetapkan jam kerja yang jelas. Perusahaan maupun atasan perlu memastikan bahwa karyawan memiliki waktu kerja yang terukur dan tidak melebar tanpa batas. Batas ini penting agar mereka tetap bisa menikmati kehidupan pribadi di luar pekerjaan, tanpa terganggu pesan atau tugas yang masuk di luar jam kerja.
Selain soal jam kerja, faktor penting lainnya adalah menjaga interaksi sosial. Hybrid work sering membuat karyawan merasa terisolasi, sehingga HR dapat memfasilitasi berbagai aktivitas tim secara virtual. Misalnya dengan mengadakan virtual coffee break, klub buku online, hingga permainan interaktif yang sesuai minat tim. Aktivitas sederhana ini bisa meningkatkan rasa kebersamaan, mengurangi rasa sepi, sekaligus memperbaiki komunikasi antaranggota tim. Dampaknya, kolaborasi jadi lebih sehat, rasa stres berkurang, dan ikatan emosional antar pegawai pun semakin kuat meski tidak selalu bertemu langsung.
Manajemen juga sebaiknya melakukan check-in rutin, baik mingguan maupun harian, untuk memantau kondisi karyawan. Forum terbuka bisa digunakan untuk mendiskusikan beban kerja, tantangan, atau bahkan kesejahteraan mental, sehingga setiap orang merasa didengar. Platform komunikasi dapat dimaksimalkan agar jalur komunikasi tetap terbuka. Selain itu, perusahaan perlu mendorong karyawan untuk benar-benar memanfaatkan cuti maupun libur pribadi demi mengisi ulang energi. Tidak kalah penting, ajakan untuk mengambil jeda singkat secara berkala, seperti dengan teknik Pomodoro, bisa membantu mengurangi monoton, menyegarkan pikiran, sekaligus menjaga produktivitas.
Ekspektasi dan tuntutan berlebih bisa mengancam produktivitas dan kesehatan mental
Banyak karyawan hybrid sering menghadapi tantangan berupa ekspektasi kerja yang tidak jelas, ditambah dengan beban tugas yang menumpuk tanpa pengelolaan yang tepat. Hal ini bisa membuat mereka kesulitan menentukan prioritas, bahkan tidak jarang harus bekerja lebih lama hanya untuk memenuhi permintaan yang datang terus-menerus. Kondisi seperti ini bukan hanya membuat pekerjaan terasa berat, tetapi juga mengganggu keseimbangan antara waktu kerja dan kehidupan pribadi.
Jika situasi ini terus berlanjut, risiko burnout akan semakin tinggi. Burnout bukan sekadar rasa lelah biasa, tetapi kelelahan emosional, mental, dan fisik yang bisa memengaruhi semangat serta performa kerja secara signifikan. Ketika karyawan sudah berada di fase ini, produktivitas akan menurun drastis, kreativitas berkurang, bahkan motivasi untuk bekerja bisa hilang. Dampaknya tentu tidak hanya dirasakan individu, tetapi juga perusahaan. Perusahaan yang karyawannya rentan burnout akan menghadapi masalah serius, mulai dari tingginya tingkat turnover hingga menurunnya kualitas kerja tim.
Di sinilah pentingnya strategi hybrid yang lebih terarah dan terstruktur. Perusahaan perlu menghadirkan solusi yang mampu meringankan beban sekaligus memberi kejelasan dalam pengelolaan pekerjaan. Dengan adanya sistem yang jelas dan efisien, karyawan tidak perlu lagi kewalahan dengan tugas-tugas teknis yang menyita energi. Sebaliknya, mereka bisa lebih fokus pada pekerjaan inti, menjaga keseimbangan hidup, serta tetap produktif tanpa harus mengorbankan kesehatan mental maupun fisik.
Penulis: Alyaa Hasna Hunafa
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.