Fimela.com, Malang Setiap orang pasti pernah merasakan marah. Entah saat dihadapkan pada komentar yang menyakitkan, disalahpahami, atau ketika kebutuhan emosional tidak terpenuhi. Rasa marah muncul secara alami sebagai bentuk pertahanan diri. Namun, cara meresponsnya sangat menentukan, apakah marah akan berakhir dengan penyesalan atau justru menjadi momen pembelajaran.
Banyak orang merasa bersalah setelah meluapkan amarah, apalagi jika kata-kata yang diucapkan melukai orang lain. Ada pula yang memilih menekan amarah, hingga akhirnya meledak dalam bentuk yang lebih besar. Padahal, keduanya sama-sama tidak sehat jika dilakukan terus-menerus.
Masalahnya, marah yang tidak dikelola sering berubah menjadi respon defensif, kata-kata tajam, bahkan penyesalan setelahnya. Padahal, jika ditangani dengan bijak, rasa marah bisa menjadi peluang untuk lebih mengenal diri dan memperbaiki hubungan dengan orang lain.
Duduk Bersama Rasa Marah
Langkah pertama dalam menghadapi kemarahan adalah tidak terburu-buru bereaksi. Memberi jeda sejenak sebelum merespons dapat membantu pikiran lebih jernih. Menyadari perasaan marah tanpa langsung menyalurkannya ke luar justru memberi ruang untuk memahami apa yang sebenarnya melatarbelakangi emosi itu.
Alih-alih melawan marah, cobalah berdamai sejenak dengan perasaan itu. Tarik napas, tuliskan perasaan di jurnal, atau diam beberapa menit sebelum merespons. Dengan begitu, marah tidak lagi mengendalikan, tetapi justru menjadi sinyal untuk introspeksi.
Gunakan Kalimat “Saya merasa”
Daripada menyalahkan dengan kalimat, “Kamu nggak peduli,” cobalah, “Ketika hal penting dilupakan, saya merasa terluka.” Bahasa ini membuat pesan lebih mudah diterima tanpa memicu pertahanan lawan bicara.
Tetap fokus pada satu masalah
Jangan biarkan satu persoalan kecil membuka pintu untuk meluapkan semua unek-unek lama. Fokuslah pada situasi yang sedang dibicarakan agar percakapan tetap konstruktif.
Dengarkan sudut pandang orang lain
Bisa jadi, pihak lain juga merasa marah atau tersakiti. Dengan terbuka terhadap perspektif mereka, peluang untuk saling memahami jadi lebih besar.
Cari solusi, bukan pembuktian siapa yang salah
Tujuan utama bukan memenangkan argumen, melainkan memperbaiki hubungan. Fokus pada langkah ke depan, misalnya sepakat untuk berkomunikasi lebih jujur di masa mendatang.
Ambil bagian dari tanggung jawab
Mengakui kontribusi dalam masalah membuat percakapan terasa lebih seimbang. Hal ini juga membuka ruang agar pihak lain lebih mudah mengakui kesalahannya.
Marah bukanlah musuh, melainkan guru. Ia menunjukkan di mana luka, kebutuhan, atau harapan berada. Dengan belajar duduk bersama rasa marah dan meresponsnya secara sehat, hubungan bisa terjaga, diri sendiri lebih tenang, dan penyesalan bisa dihindari. Seperti pepatah Tiongkok mengatakan, “Jika sabar satu saat ketika marah, akan terhindar dari seratus hari penyesalan.”
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5342113/original/069868400_1757385205-pexels-shvets-production-7176173.jpg)
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5342114/original/045499300_1757385207-pexels-timur-weber-8560709.jpg)
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5342115/original/041136800_1757385209-pexels-timur-weber-8559953.jpg)
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5342116/original/051981600_1757385211-pexels-polina-zimmerman-3958844.jpg)
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5342117/original/088507900_1757385212-pexels-javaistan-8780508.jpg)
:strip_icc():format(webp)/kly-media-production/medias/5342118/original/002382300_1757385215-pexels-rdne-8489064.jpg)
















































