Jiwa Perintis Bisa Dimiliki Siapa Saja, tapi Titik Mulai Tak Pernah Sama

1 month ago 13

Fimela.com, Jakarta Perjuangan untuk membangun kehidupan dari nol bukan hanya perkara mental baja. Sering kali, ia juga soal garis mula yang tidak sama bagi semua orang. Ada yang lahir dengan fondasi kuat: akses pendidikan, relasi yang luas, bahkan jaring pengaman saat gagal. Sementara itu, ada pula yang tidak tahu ke mana harus melangkah karena semua harus dicari sendiri atau serba terbatas.

Jiwa perintis memang bisa tumbuh dalam siapa saja. Walaupun demikian, kita perlu memahami bahwa perjuangan seseorang bukan hanya ditentukan oleh kerja kerasnya, tetapi juga oleh struktur sosial yang menaunginya. Ada yang berjalan di jalan mulus, ada pula yang merintis jalan baru di semak belukar kehidupan.

Merayakan semangat perjuangan tanpa mengakui perbedaan titik mula bisa membuat kita mudah menyederhanakan realitas orang lain. Kita perlu menumbuhkan empati yang berpijak pada pemahaman: bahwa semangat boleh setara, tapi peluang tidak selalu demikian.

Antara Semangat dan Kenyataan: Celah yang Sering Terlupa

Belakangan ini, muncul sosok anak bernama Ryu Kintaro, seorang YouTuber cilik berusia 10 tahun yang viral di TikTok dan X karena memberi nasihat soal bisnis dan hidup sebagai perintis.

Dalam salah satu videonya, Ryu menyebut, “Orang banyak pengen hidup yang aman, tapi tahu enggak yang paling seru itu justru hidup sebagai perintis. Nggak ada yang nunjukin arah, nggak ada yang ngejamin hasil tapi justru itu letak asyiknya.”

Sosok seperti Ryu memang memantik inspirasi, tapi di balik semangat itu, ada celah yang perlu diperhatikan: tidak semua orang bisa menjalani hidup sebagai perintis dengan rasa “seru”.

Bagi sebagian besar orang, menjadi perintis berarti menghadapi hidup tanpa peta, tanpa pegangan, dan tanpa privilese. Seru bisa jadi bukan kata yang muncul, melainkan lelah, takut, atau bahkan putus asa.

Itulah mengapa cerita semacam ini sebaiknya dilihat sebagai pemantik semangat, bukan tolok ukur hidup. Apa yang terlihat sederhana dalam narasi inspiratif, bisa jadi rumit dan berat bagi banyak orang. Kita boleh terinspirasi, tapi tidak perlu merasa gagal bila cerita kita tak seindah mereka yang punya sorotan.

Merayakan Perjuangan, tanpa Menyederhanakan Realita

Sahabat Fimela, banyak orang bekerja dua kali lipat lebih keras hanya untuk bisa berdiri di titik yang bagi orang lain terasa biasa saja. Mereka tak punya warisan bisnis, tak ada teladan keluarga yang sukses, dan bahkan harus belajar sambil bekerja sejak muda. Tapi perjuangan mereka sering tak tampak di permukaan.

Menjadi perintis berarti menjalani hari-hari dengan ketidakpastian yang terus-menerus. Tanpa jaminan hasil, tanpa rambu yang jelas, dan kadang harus berjalan sendiri dalam sunyi. Maka ketika ada yang berhasil meniti jalan ini, sekecil apa pun kemajuannya, itu patut dirayakan.

Menghargai perjuangan tidak harus dengan pujian besar. Cukup dengan tidak membandingkannya secara serampangan dengan mereka yang memulai dari garis yang berbeda.

Jalan Hidup Berbeda, tapi Sama-Sama Layak Dihargai

Apa yang tampak mudah bagi satu orang, bisa jadi merupakan titik terjauh yang pernah dicapai orang lain. Maka, membandingkan cerita perjuangan justru kerap menyakiti mereka yang telah mengerahkan seluruh daya untuk bertahan.

Mengenali privilege tidak bertujuan membuat kita merasa bersalah atas kemudahan yang dimiliki, tapi agar kita lebih adil dalam memberi penghargaan. Bahwa tidak semua yang lambat berarti malas, dan tidak semua yang cepat berarti lebih berbakat.

Semangat perintis bukan soal kecepatan, tapi tentang konsistensi. Ia tumbuh dari dalam, bukan dari tepuk tangan orang lain. Dan semangat itu tumbuh paling kuat saat kita tahu bahwa perjalanan kita berbeda, tapi tak kurang berarti.

Perjuangan Tiap Orang Berbeda-beda

Ada banyak generasi perintis yang tidak pernah muncul di beranda media sosialmu. Mereka terlalu sibuk bertahan hidup untuk membuat konten. Mereka menyekolahkan adik-adiknya, menopang ekonomi keluarga, dan belajar di sela jam kerja malam.

Mereka tidak viral, tidak mendapat pujian publik, dan mungkin tidak pernah diwawancara. Tapi perjuangan mereka lebih dari layak untuk dihargai. Sebab mereka membangun sesuatu dari tanah yang gersang, dengan alat seadanya, dan tetap melangkah meski dunia seolah tutup mata.

Sahabat Fimela, tak semua perjuangan perlu sorotan untuk sah. Validasi terbesar datang dari ketulusan, bukan popularitas.

Jiwa perintis bukan tentang siapa yang paling cepat tiba. Tapi tentang siapa yang tetap menyala meski jalan di depan tak terlihat. Karena dalam dunia yang tak adil ini, keberanian melangkah adalah kemenangan tersendiri.

Beratnya menjadi generasi perintis juga menunjukkan bahwa perjuangan tidak bisa ditumpukan hanya pada individu. Negara perlu hadir sebagai pemberi arah dan penopang keadilan. Dukungan dari pemerintah seperti pendanaan inklusif, hibah untuk usaha kecil, pinjaman mikro tanpa agunan, hingga investasi berbasis komunitas adalah langkah penting untuk menjamin kesetaraan kesempatan.

Perubahan yang adil lahir dari kerja bersama. Bukan hanya dari individu yang kuat, tapi dari sistem yang peduli dan aktif membantu.

Maka jika hari ini kamu sedang berjuang dari titik nol, ketahuilah bahwa perjuanganmu tidak akan sia-sia. Selalu ada titik terang di tengah kegelapan, dan selalu ada harapan di tengah semua hambatan dan halangan.

Semoga semangat itu terus tumbuh. Bukan dalam bentuk kompetisi siapa paling keras berjuang, tapi sebagai komunitas yang saling menguatkan. Karena pada akhirnya, perjuangan tak akan habis hanya karena sudah diakui. Tapi ia akan terasa lebih ringan saat tidak perlu dijalani sendirian.

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Endah Wijayanti
Read Entire Article
Prestasi | | | |