loading...
Hanna Fauzie, Pecinta Sepak Bola dan Pemerhati Isu Internasional. Foto/Dok.SindoNews
Hanna Fauzie
Pecinta Sepak Bola dan Pemerhati Isu Internasional
TENSI ketegangan Thailand dengan Kamboja terus memanas. Perselisihan yang dipicu isu perbatasan, sentimen nasionalisme, dan dinamika politik domestik masing-masing negara kini merembet ke ranah yang seharusnya menjadi ruang netral: yakni panggung olahraga.
Kamboja memutusakan menarik seluruh atletnya di ajang SEA Games, Rabu (10/12/2025) atau sehari setelah upacara pembukaan. Keputusan ini diambil Komite Olimpiade Nasional Kamboja (NOCC) setelah menerima desakan dari keluarga para atlet yang khawatir akan keselamatan kerabat mereka yang berada di Thailand, tuan rumah SEA Games.
Penarikan seluruh atlet Kamboja merupakan alarm bahwa tensi ini tidak lagi berhenti di meja diplomasi. Olahraga, yang umumnya berfungsi sebagai panggung solidaritas kawasan, mendadak berubah status menjadi barometer ketidaknyamanan politik.
Saat seperti inilah Indonesia harus kembali menunjukkan jurus andalan sebagai penjaga keseimbangan di ASEAN.
ASEAN dan Tradisi “Quiet Diplomacy” Indonesia
Indonesia tidak pernah memposisikan diri sebagai polisi kawasan. Perannya justru sering hadir dalam bentuk diplomasi tenang alias ‘Quiet Diplomacy’. Indonesia menawarkan konsultasi, ruang dialog, dan pendekatan yang menghormati kondisi politik negara lain.
Model ini sejalan dengan quiet diplomacy ala Hedley Bull, di mana negara mediator bekerja secara discreet untuk menghindari eskalasi publik, dan strategi constructive engagement yang dikembangkan ASEAN untuk menghadapi isu-isu sensitif.
Dalam sejarahnya, Indonesia berperan penting dalam meredam sejumlah konflik kawasan: mulai dari mediasi Kamboja–Vietnam pada 1980-an hingga fasilitasi Myanmar di berbagai periode transisi politiknya.














































