Lumbung Digital Nasional

3 hours ago 7

loading...

Suparman Kadamin Akademisi, Peneliti ITB Ahmad Dahlan Jakarta/Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM). Foto/Dok. SindoNews

Suparman Kadamin
Akademisi, Peneliti ITB Ahmad Dahlan Jakarta
Pengurus Dewan Pimpinan Pusat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (DPP IMM)

DI NEGERI ini, berdagang dulu artinya membuka tikar di pasar, menata sayur di atas meja, atau menjemput pembeli dengan senyum di emperan toko. Tapi kini pasar telah berubah bentuk: tak lagi berdebu, tak berteriak, tak menawar harga. Ia sunyi, tapi sibuk. Tak terlihat, tapi berputar setiap detik. Namanya marketplace — pasar raksasa di dunia maya yang mengatur ritme dagang rakyat dari balik layar ponsel.

Dulu orang bilang, “dagang itu soal niat dan kerja keras.” Sekarang, dagang juga soal algoritma, peringkat iklan, dan biaya promosi. UMKM yang ingin dikenal harus membayar ruang tampak — semacam sewa etalase digital. Yang tak punya modal, tergeser ke halaman belakang, nyaris tak terlihat. Di situ, mimpi-mimpi kecil terkubur dalam sistem yang tak pernah memberi ruang bagi yang lemah.

Kita sering mendengar istilah manis: digitalisasi ekonomi, UMKM go digital, ekonomi kreatif. Tapi di balik istilah yang wangi itu, banyak pelaku usaha kecil yang justru kehilangan aroma keadilan. Biaya layanan, potongan komisi, dan ongkos promosi menelan sebagian besar keuntungan.

Bagi banyak UMKM, berjualan di marketplace bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Dan keharusan yang tidak disertai kemampuan, lama-lama berubah menjadi jebakan.

UMKM kita seperti petani jagung di ladang digital. Mereka menanam dengan modal sendiri, menyiram dengan tenaga sendiri, tapi ketika panen, sebagian besar hasilnya dipotong oleh pemilik lahan. Bedanya, ladang digital ini tidak berdebu, tidak ada bajak, tidak ada sekop — tapi ada algoritma yang menentukan siapa boleh panen lebih dulu.

Inilah wajah baru kapitalisme digital — lembut tapi menelan. Ia datang bukan dengan senjata, tapi dengan iklan. Ia tidak memaksa, tapi membuat kita merasa perlu. Ia menanam candu lewat kemudahan, tapi menagih upeti lewat sistem.

Lalu di Mana Negara?
Negara tampak sibuk membuat aturan, membangun sistem pembayaran digital, dan menyalurkan bantuan bagi UMKM agar bisa masuk ke dunia online. Tapi itu semua baru pada tahap “mengantar”, belum pada tahap “menjamin”. Kita masih sibuk mendorong rakyat kecil masuk ke rumah orang lain tanpa pernah memikirkan: siapa sebenarnya pemilik rumah itu?

Read Entire Article
Prestasi | | | |