Catatan Atas Rencana Penghapusan Beras Premium & Medium

19 hours ago 5

loading...

Khudori, Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP). Foto/istimewa

Khudori
Pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) dan Komite Pendayagunaan Pertanian (KPP)

DALAM beberapa hari ini publik, terutama yang tecermin dari pemberitaan di media massa, disibukkan oleh pembahasan rencana pemerintah menghapus beras premium dan medium saat ini. Ke depan, hanya ada beras umum atau beras reguler dan beras khusus. Hanya ada dua klasifikasi beras itu. Beras umum pun tidak lagi dibagi menjadi dua seperti di Peraturan Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) No. 2 Tahun 2023 tentang Persyaratan Mutu dan Label Beras. Beras umum ya beras umum. Titik. Tak ada koma.

Pemerintah akan tetap mengatur harga eceran tertinggi (HET) beras reguler, sebagai batas atas di pasaran. Untuk beras khusus harganya tidak diatur pemerintah. Namun, pelaku usaha perlu memegang sertifikat terhadap merek beras khusus itu. HET beras diatur di Peraturan Bapanas No.5/2024. HET beras dibagi tiga zona: zona produsen, zona produsen tapi defisit, dan zona konsumen. HET beras medium dipatok Rp12.500 sampai Rp13.500 per kg. HET beras premium antara Rp14.900 sampai Rp15.800 per kg.

Seperti diatur di Peraturan Kepala Bapanas No 2/2023, beras umum dibagi menjadi beras pecah kulit dan beras sosoh. Sedangkan beras khusus mencakup beras ketan, beras merah, beras hitam, beras varietas lokal, beras fortifikasi, beras organik, beras indikasi geografis, beras dengan klaim kesehatan, dan beras tertentu yang tidak dapat diproduksi di dalam negeri. Baik beras umum maupun beras khusus wajib bebas hama, bebas bau apak, asam, dan bau asing lain, dan memenuhi syarat keamanan.

Dalam peraturan itu, kelas mutu beras terbagi menjadi beras premium, beras medium, beras submedium, dan beras pecah. Perbedaan empat kelas mutu beras ini didasarkan pada derajat sosoh, kadar air, butir patah, butir menir, butir gabah, total butir beras lain, dan benda lain. Misalnya, beras premium minimal derajat sosohnya 95%, maksimal kadar air, butir patah, butir menir, butir gabah, total butir beras lain, dan benda lain masing-masing 14%, 15%, 0,5%, 0%, 1%, dan 0%. Beras medium syaratnya lebih rendah. Beras khusus tidak diatur kelas mutunya seperti beras umum.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana kualifikasi mutu beras umum dan beras khusus ditetapkan? Lalu, dengan kualifikasi mutu beras itu, pada HET berapa beras umum dipatok? Lebih dari itu, apakah meniadakah beras premium dan medium ini jalan keluar dari 'kekisruhan' di dunia perberasan saat ini? Apa implikasi dari rencana ini jika benar-benar dieksekusi? Apa saja alternatif yang tersedia yang bisa dipilih?

Pertanyaan ini bisa diperpanjang. Tapi lima pertanyaan itu setidaknya mewakili rasa ingin tahu dan kegelisahan publik atas rencana kebijakan pangan pokok ini. Dalil kebijakan publik: tidak ada satupun kebijakan yang memuaskan semua pihak. Pasti ada pihak yang dirugikan dan pihak yang diuntungkan. Kebijakan publik yang baik adalah bagaimana meminikan pihak yang dirugikan dan memperbesar pihak yang diuntungkan. Tidak mudah. Sudah pasti. Itulah tantangan krusial bagi setiap pejabat publik.

Seperti pada tulisan 27 Juli 2025 berjudul "Penyaluran Beras BULOG: Kalau Bisa Dipersulit Mengapa Dipermudah", kebijakan perberasan tidak mudah karena menyangkut konsumen yang hampir 285 juta jiwa, yang kontribusi beras mencapai 5,20% dari jumlah pengeluaran keluarga, bahkan mencapai 25,87% bagi warga miskin. Ketika harga beras naik 10% kemiskinan akan naik 1,3%. Mereka yang hanya beberapa jengkal di atas garis kemiskinan bisa jadi kaum miskin baru. Kerumitan juga terkait dengan petani padi berjumlah puluhan juta keluarga dan penggilingan padi, besar dan kecil, 169 ribu.

Kondisi riil lain yang patut dipertimbangkan adalah antara penggilingan padi skala kecil dan skala menengah-besar adalah investasi yang berbeda dengan produk berbeda pula. Penggilingan padi kecil tak mampu menghasilkan beras kualitas baik berbiaya rendah, kehilangan hasil tinggi, banyak butir patah, rendemen rendah, dan tak mampu menghasilkan beras dengan higienitas tinggi. Sebaliknya, penggilingan padi besar, apalagi penggilingan padi terintegrasi, bisa menghasilkan beras berkualitas bagus, biaya rendah, kehilangan hasil rendah, butir patah sedikit, dan rendemen tinggi.

Sialnya, dari 169.000 unit 95% tergolong penggilingan kecil, disusul penggilingan menengah 4,32% dan besar 0,62%. Dominasi penggilingan padi kecil adalah hasil kebijakan era 1970-an, ketika konsumen masih memperlakukan beras sebagai komoditas homogen. Lebih dua dekade terakhir telah terjadi perubahan drastis pada preferensi konsumen beras. Beras tak lagi dipandang sebagai komoditas homogen, tapi produk heterogen sesuai atribut: rasa, kualitas, varietas, kemasan, dan bahkan brand. Saat ini pangsa beras premium aneka merek ini diperkirakan 30% dari konsumsi nasional.

Read Entire Article
Prestasi | | | |