Ijon Pajak di Ujung 2025: Solusi Cepat atau Ilusi Berisiko untuk APBN?

5 hours ago 8

loading...

Perdana Wahyu Santosa, Profesor Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI, Direktur Riset GREAT Institute, dan CEO SAN Scientific. Foto/Istimewa

Perdana Wahyu Santosa
Profesor Ekonomi, Dekan FEB Universitas YARSI, Direktur Riset GREAT Institute, dan CEO SAN Scientific

MENJELANGpenutupan tahun anggaran 2025, isu shortfall penerimaan pajak kembali menguat—dan seperti biasa, muncul ide-ide “jalan pintas” yang menggoda. Salah satunya adalah wacana ijon pajak, yakni mendorong (atau meminta) wajib pajak menyetor kewajiban tahun depan lebih awal di tahun berjalan.

Definisinya sederhana, tetapi konsekuensinya bisa rumit, yaitu dari kredibilitas kebijakan, kualitas data, hingga risiko “bolong” di awal tahun berikutnya. Mengutip dari IKPI, DJP sendiri menegaskan tidak ada praktik ijon dan menekankan langkah-langkah intensifikasi yang sah dalam koridor hukum.

Di bawah permukaan kontroversi istilah ijon pajak, problem intinya sendiri adalah bagaimana pemerintah mengelola tekanan penerimaan tanpa menciptakan distorsi yang merusak fondasi fiskal jangka menengah.

Mengapa Shortfall Membesar: Siklus Ekonomi, Komoditas, dan Administrasi

Data hingga 31 Oktober 2025 menunjukkan penerimaan pajak neto Rp1.459,03 triliun—sekitar 70,2% dari outlook pemerintah. Ini menandakan “jarak ke garis finis” masih besar untuk dikejar dalam sisa waktu yang pendek, apalagi ketika beberapa pos utama justru terkontraksi: PPh Badan terkoreksi 9,6% (yoy) dan PPN/PPnBM terkoreksi 10,3% (yoy).

Sumber tekanannya campuran. Dari sisi makro, moderasi harga komoditas mengurangi basis penerimaan (dan PNBP), sementara perlambatan aktivitas juga menggerus PPN. Reuters juga mencatat pada awal 2025 penerimaan pajak sempat turun tajam, dipengaruhi moderasi harga komoditas serta perubahan administratif pemungutan, dan ada keluhan disrupsi akibat upgrade sistem perpajakan yang bermasalah.

Read Entire Article
Prestasi | | | |