loading...
Tri Wibowo Santoso - Peneliti Lembaga Lingkar Studi Data dan Informasi. Foto/Dok Pribadi
Tri Wibowo Santoso
Peneliti Lingkar Studi Data dan Informasi
Satu tahun pemerintahan Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka tidak dimulai dari kertas kosong. Pemerintahan ini mewarisi beban struktural yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya, termasuk utang, proyek mangkrak, dan birokrasi gemuk yang melambatkan reformasi.
Harus diakui memang tak mudah bagi Prabowo untuk menjalankan roda pemerintahan dengan setumpuk permasalahan yang ditinggalkan oleh Jokowi. Misalnya, tingginya rasio utang terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Menurut catatan Kementerian Keuangan (Kemenkeu) utang pemerintah menjelang Presiden Joko Widodo (Jokowi) lengser atau tepatnya hingga Agustus 2024 mencapai Rp 8.461,93 triliun atau 38,49% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Selain itu, Prabowo juga dihadapkan pada tantangan terbesar, yakni, bukan menciptakan program baru, tetapi memperbaiki warisan lama yang bobrok. Dan dari semua warisan itu, satu yang paling berat dan simbolik: Kereta Cepat Whoosh Jakarta–Bandung.
Proyek yang dulu dijual sebagai “simbol kemajuan” kini justru menjadi simbol ironi. Biaya pembangunannya melonjak dari Rp 86 triliun menjadi Rp 110 triliun lebih. Dari jumlah itu, sebagian besar berasal dari pinjaman China Development Bank dengan bunga sekitar 3,4 persen per tahun.
Pemerintah Indonesia yang awalnya mengklaim proyek ini murni business to business akhirnya ikut menanggung beban melalui Penyertaan Modal Negara (PMN) sebesar Rp 4,3 triliun dan jaminan utang hingga Rp 8 triliun. Artinya, risiko keuangan negara kini melekat langsung pada proyek yang seharusnya berdiri di atas logika bisnis.