loading...
Terbukti kuat melibas tanjakan jalur selatan Jawa, nasib kendaraan niaga listrik kini tergantung pada pemerintah: mau kasih insentif atau biarkan truk diesel terus meracuni udara kita?. Foto: Sindonews/Danang Arradian
JAKARTA - Di saat Jakarta megap-megap oleh polusi udara dan pemerintah sibuk meneriakkan slogan "langit biru", sebuah ironi besar justru terpampang jelas di jalan raya.
Truk dan bus bermesin diesel tua—penyumbang emisi karbon terbesar di sektor transportasi—masih bebas menyemburkan asap hitam pekat.
Sementara itu, solusi nyata berupa kendaraan niaga berbasis listrik (electric vehicle/EV) justru dibiarkan "mati suri" karena harganya yang selangit dan minimnya keberpihakan regulator.
Narasi insentif kendaraan listrik di Indonesia saat ini masih terjebak pada populisasi kendaraan penumpang.
Mobil listrik pribadi mendapat diskon Pajak Pertambahan Nilai (PPN) hingga tersisa 1 persen, dan motor listrik sempat diguyur subsidi Rp7 juta.
Namun, segmen niaga—tulang punggung logistik yang beroperasi 24 jam non-stop—seolah menjadi "anak tiri" yang terlupakan.














































