Representasi Mahal, Legitimasi Murah

6 hours ago 4

loading...

Eko Ernada
Kolumnis dan Dosen FISIP Universitas Jember

SEJAK masa Republik Romawi, politik selalu menanggung beban paradoks: bagaimana memberi imbalan yang layak kepada mereka yang mewakili rakyat, tanpa mengubah jabatan publik menjadi arena perburuan rente? Senat Romawi bahkan pernah memperdebatkan, apakah pejabat publik sebaiknya diberi bayaran simbolis agar tidak menjadikan jabatan sebagai profesi, atau justru imbalan memadai agar mereka bisa berkonsentrasi penuh pada urusan negara.

Di Yunani kuno, para juri rakyat menerima uang harian kecil agar warga miskin pun tetap bisa terlibat dalam urusan polis. Prinsipnya sederhana: representasi memang membutuhkan imbalan, tetapi tidak boleh menjelma privilese.

Namun logika sederhana itu kini terasa semakin rumit. Di Indonesia, kontroversi mengenai tunjangan anggota DPR menjadi titik api ketidakpuasan publik. Protes yang muncul bukan semata pada besaran rupiah, melainkan pada keadilan moral: apakah pantas sebuah lembaga yang kinerjanya kerap diragukan justru terus menambah daftar fasilitas?

Aristoteles sejak awal mengajarkan prinsip keadilan distributif—setiap orang mendapat sesuai dengan kontribusinya. Publik menilai kontribusi DPR tidak sebanding dengan imbalan: kehadiran rapat sering rendah, legislasi strategis kerap tersendat, fungsi pengawasan melempem, sementara berita etik justru ramai. Bila kontribusi rendah, apakah wajar imbalan tinggi?

Dalih klasik selalu diulang: biaya politik di Indonesia amat mahal. Untuk menjadi anggota DPR, seseorang harus membayar mahar partai, biaya kampanye, hingga ongkos tak kasatmata menyapa konstituen. Maka, gaji dan tunjangan besar dianggap wajar—bahkan perlu—sebagai sarana balik modal. Tetapi logika ini berbahaya. Ia mengubah kursi DPR bukan menjadi amanat rakyat, melainkan instrumen investasi.

Jeffrey Winters menyebut fenomena ini sebagai oligarki: kekuasaan terperangkap di tangan mereka yang punya modal, lalu menggunakan jabatan untuk melanggengkan posisi. Jika tunjangan dirancang bukan demi pelayanan publik, melainkan demi menutupi ongkos politik pribadi, representasi berubah menjadi bisnis.

Read Entire Article
Prestasi | | | |