Fimela.com, Jakarta Hidup memang tak selalu berjalan mulus. Ada kalanya kita merasa lelah, seolah semesta tak berpihak dan segalanya terasa berat. Di tengah tuntutan, ekspektasi, dan rutinitas yang melelahkan, kita sering lupa bahwa jiwa pun butuh istirahat. Saat itulah kita perlu berhenti sejenak, memberi ruang bagi diri sendiri untuk bernapas, merenung, dan menemukan kembali makna hidup. Salah satu cara sederhana namun menenangkan adalah dengan membaca buku yang mampu menyentuh hati dan membangkitkan semangat dari dalam.
Membaca bukan hanya soal menambah wawasan, Sahabat Fimela. Kadang, sebuah paragraf sederhana bisa menjadi pelukan hangat di saat kita merasa sendiri. Melalui kisah, kata-kata bijak, dan narasi yang menenangkan, buku bisa menjadi teman terbaik saat hati sedang rapuh. Jika saat ini kamu sedang merasa capek menjalani hidup, tujuh rekomendasi buku berikut bisa menjadi penawar yang lembut untuk jiwamu yang lelah. Mari izinkan dirimu untuk beristirahat sejenak, dan temukan kembali ketenangan dari halaman demi halaman yang penuh makna.
1. In The Kitchen: Essays on Food and Life
Buku In The Kitchen: Essays on Food and Life merupakan kumpulan esai dari berbagai penulis yang mengeksplorasi kedekatan emosional antara manusia dan makanan. Diterbitkan oleh Daunt Books, buku ini tidak hanya mengajak pembaca menikmati cerita tentang makanan, tetapi juga menggali makna-makna mendalam yang tersembunyi di balik setiap hidangan dan kenangan yang menyertainya.
Melalui kisah-kisah personal yang hangat dan jujur, setiap penulis menghadirkan pengalaman yang terasa begitu akrab. Membaca buku ini seperti berada dalam percakapan intim di meja makan, di mana cerita-cerita dibagikan sambil menyeruput teh hangat dan menikmati hidangan favorit. Sebuah pengalaman membaca yang bukan hanya mengenyangkan batin, tetapi juga menghangatkan hati.
2. The Book of Everyday Things
Tanpa kita sadari, kehidupan sehari-hari kita dikelilingi oleh berbagai benda yang tampak biasa namun sesungguhnya menyimpan makna mendalam. Setiap barang yang kita gunakan—sekecil apa pun itu—memiliki fungsinya masing-masing dan sering kali beririsan dengan pengalaman serta perasaan kita. Barang-barang ini bukan sekadar alat bantu, tetapi juga saksi bisu dari perjalanan hidup, emosi, dan kenangan yang membentuk siapa diri kita hari ini.
Buku The Book of Everyday Things menyajikan kumpulan tulisan ringan namun sarat makna tentang berbagai benda dalam keseharian, mulai dari buku, bantal, surat, hingga sikat gigi. Tak berhenti pada benda mati, buku ini juga mengajak kita merenungkan arti dari hal-hal seperti keberadaan seekor kucing, rasa kehilangan, hingga kenangan manusia. Dengan gaya tutur yang sederhana dan menyentuh, buku ini mengajarkan bahwa segala hal yang tampak sepele dalam hidup kita sebenarnya bisa menjadi cermin refleksi, tempat kita memahami diri sendiri lebih dalam dan menemukan ketenangan dari hal-hal kecil yang sering terabaikan.
3. The Things You Can See Only When You Slow Down
Buku Things You Can See Only When You Slow Down karya Haemin Sunim adalah pelukan hangat bagi jiwa yang lelah. Ia mengajak kita untuk melambat, bukan karena dunia sedang berhenti, tetapi karena jiwa kita butuh waktu untuk bernapas. Dalam keterburu-buruan yang kita anggap sebagai keharusan, sering kali kita lupa bahwa yang benar-benar sibuk bukanlah dunia, melainkan isi kepala kita sendiri. Pikiran yang tak pernah hening membuat kita merasa tertinggal, padahal semesta tak sedang berlomba dengan kita. Buku ini menjadi pengingat lembut bahwa melambat bukan berarti kalah, tapi memberi ruang untuk memahami hidup lebih dalam.
Melalui kisah-kisah sederhana dan kutipan-kutipan singkat yang penuh makna, Haemin Sunim mengajak kita berdamai dengan diri sendiri. Ia menyentuh sisi terdalam manusia—emosi, hubungan, amarah, kehilangan—dan menyampaikannya dengan kelembutan yang menenangkan. Membaca bukunya bukan sekadar mendapatkan nasihat, tapi seperti mendengar suara hati yang selama ini kita abaikan. Kita diajak untuk tidak menghakimi perasaan sendiri, belajar memaafkan, dan menyadari bahwa proses penyembuhan bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Karena pada akhirnya, ketenangan bukan datang dari luar, tapi dari kesediaan kita untuk mendengarkan suara batin, dan mencintai diri sendiri tanpa syarat.
4. The Book of Hope: 101 Voices on Overcoming Adversity
Di tengah perjuangan hidup yang penuh liku, menemukan kembali harapan memang bukan perkara mudah—terlebih saat berada di titik terendah. Namun, buku ini hadir sebagai pengingat lembut bahwa kegelapan tidak pernah abadi. Lewat 101 kisah nyata yang jujur dan menyentuh, kita diajak menyelami pengalaman orang-orang yang berjuang mengatasi gangguan mental, mengolah rasa sakit, hingga akhirnya kembali menyalakan harapan dalam diri mereka. Kisah-kisah ini bukan hanya menyembuhkan, tapi juga membuktikan bahwa harapan bisa tumbuh kembali dari serpihan kehidupan yang pernah hancur.
Setiap cerita dalam buku ini ditata dalam kategori yang menenangkan hati, seperti Peace, Acceptance, Compassion, hingga Resilience. Dengan pendekatan yang penuh empati, setiap kisah menghadirkan pelajaran yang membumi, namun sarat makna. Membacanya seperti duduk bersama seseorang yang memahami luka kita tanpa perlu banyak penjelasan. Buku ini sangat cocok bagi siapa pun yang ingin kembali memaknai hidup, menemukan semangat baru, dan melihat kehidupan dari sudut pandang yang lebih luas dan manusiawi. Mungkin saja, dalam satu kisah yang tertulis di sana, kita menemukan cermin dari perjalanan kita sendiri—dan dari situlah kekuatan baru lahir perlahan.
5. Almost Adulting: Self-Help Approach to Deal with Quarter-Life Crisis
Memasuki usia 20-an sering kali terasa seperti memasuki dunia yang sama sekali baru. Di fase ini, kita dihadapkan pada pertanyaan-pertanyaan besar tentang siapa diri kita, ke mana arah hidup kita, dan bagaimana menjalani hubungan serta merancang masa depan. Tak jarang, semua pertanyaan itu datang bersamaan dan membuat kita merasa tersesat di tengah perjalanan. Pikiran jadi bising, hati terasa gamang, dan langkah pun terasa berat karena begitu banyak hal yang belum pasti.
Fenomena quarter life crisis adalah sesuatu yang wajar dialami di usia ini—masa transisi dari remaja menuju dewasa awal yang dipenuhi ketidakpastian, tantangan emosional, hingga tekanan sosial. Namun, bukan berarti kita harus menyerah pada keraguan itu. Buku Almost Adulting: Self-Help Approach to Deal with Quarter-Life Crisis karya Nadhira Afifa hadir sebagai teman seperjalanan yang penuh pengertian. Lewat pendekatan yang jujur dan ringan, buku ini mengajak kita untuk mengenali diri sendiri lebih dalam, menghadapi tantangan dengan lebih berani, serta menjalani usia 20-an dengan hati yang lebih kuat dan terbuka.
6. The Other Side of Things
Dalam hiruk pikuk keseharian, kadang yang paling kita butuhkan bukanlah langkah yang lebih cepat, melainkan keberanian untuk melambat sejenak. Bukan untuk berhenti atau bermalas-malasan, tetapi untuk memberi ruang bagi hati dan pikiran yang telah lama lelah. Saat kita memberi jeda, kita memberi kesempatan bagi diri sendiri untuk kembali menyentuh emosi yang sempat diabaikan, menyembuhkan luka-luka kecil yang tak sempat dirasakan, dan mengisi ulang energi dengan hal-hal yang menenangkan jiwa. Jeda yang kita ambil justru bisa menjadi awal baru untuk melangkah lebih bijak dan sadar dalam menjalani hidup.
Dalam bukunya The Other Side of Things, Ahn Kyuchul mengajak kita untuk melihat ulang dunia dari sudut pandang yang lebih tenang dan penuh makna. Melalui esai-esai pendek yang dihiasi ilustrasi simbolik, ia menunjukkan bahwa benda-benda sehari-hari—dari alam hingga objek rumah tangga—menyimpan pelajaran hidup yang sering luput dari perhatian. Dengan gaya bercerita yang lembut dan puitis, buku ini seakan menjadi panduan untuk kembali menemukan keajaiban dari hal-hal sederhana. Ia mengingatkan kita bahwa kebijaksanaan bisa lahir dari pengamatan yang hening, dan ketenangan sering kali ditemukan bukan di tempat baru, melainkan dari cara baru memandang apa yang telah lama ada di sekitar kita.
7. The Lonely Stories
Banyak yang membayangkan bahwa kesepian selalu identik dengan ketiadaan orang di sekitar kita. Kumpulan esai yang indah ini justru menghadirkan sudut pandang yang lebih dalam dan tak terduga. Kesepian ternyata tak selalu hadir karena kita sendirian, melainkan bisa muncul dari jarak yang secara sadar atau tidak kita ciptakan—baik terhadap tempat, pengalaman, maupun terhadap diri kita sendiri. Bahkan, terkadang jarak itu bukan kita yang memilihnya, melainkan ia datang begitu saja dalam hidup.
Melalui kisah-kisah yang menyentuh, para penulis dalam buku ini menggambarkan berbagai bentuk kesepian yang mungkin tak pernah kita sadari sebelumnya: menyimpan rahasia yang tak terucap, memendam luka yang terasa terlalu berat untuk dibagi, hingga kehilangan bahasa ibu yang selama ini menjadi identitas. Namun justru lewat keberagaman kisah itu, pembaca yang merasa kesepian bisa merasa lebih dimengerti dan tidak lagi sendiri. Buku ini bukan hanya menawarkan tulisan yang luar biasa, tetapi juga mengubah cara kita memandang kesepian—bukan sebagai kelemahan, melainkan sebagai bagian dari perjalanan untuk memahami diri lebih utuh.
Happy reading, Sahabat Fimela!
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.