Teori Gramsci Buktikan: Google-Meta Ciptakan Hegemoni Digital

22 hours ago 8

loading...

Henry Sianipar, Mahasiswa Pascasarjana Usahid, dan Dosen UBSI Jakarta. Foto/Dok. Pribadi

Henry Sianipar
Mahasiswa Pascasarjana Usahid dan Dosen UBSI Jakarta

ANTONIO Gramsci, filsuf Marxis Italia yang menulis dari penjara fasis Mussolini tentang konsep hegemoni, pasti akan terkejut melihat bagaimana hegemoni digital beroperasi hari ini. Platform seperti Google, Meta, dan TikTok tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga mengontrol narasi publik melalui algoritma.

Platform digital telah menjadi gatekeeper informasi modern, menentukan konten mana yang viral, mana yang tenggelam, dan siapa yang mendapat cuan. Melalui algoritma, platform digital menciptakan "akal sehat" baru: informasi harus gratis, viral adalah ukuran kualitas, dan algoritma bersifat netral. Padahal, di baliknya tersembunyi eksploitasi ekonomi sistematis terhadap produsen konten.

Hegemoni Digital: Tiga Jurus Gramsci

Gramsci menjelaskan hegemoni sebagai dominasi melalui persetujuan (bukan paksaan). Di ruang digital, ini terwujud dalam tiga dimensi: (1) Kepemimpinan intelektual-moral. Raksasa digital menciptakan narasi bahwa "berbagi konten adalah kemajuan", padahal mereka mengeruk triliunan dari iklan yang melekat pada konten berita. (2) Transformisme dengan mengkooptasi media tradisional lewat program partnership yang tampak menguntungkan. YouTube misalnya, melakukan pembagian revenuenya dengan porsi 55:45. (3) Dimensi Blok Historis yang terbentuk aliansi antara platform, pengiklan global, dan konsumen yang menikmati konten "gratis".

Gramsci menggunakan istilah "krisis organik" untuk menggambarkan kondisi ketika hegemoni yang ada mulai runtuh karena kontradiksi internalnya. Data Nielsen menunjukkan iklan televisi turun dari Rp143 triliun (2019) menjadi Rp125 triliun (2024). Penurunan pendapatan media TV beralih ke raksasa digital. Nielsen menghitung kue iklan di platform digital melonjak dari Rp13 triliun (2019) menjadi Rp55 triliun (2024).

Publishing Rights: Senjata Counter-Hegemoni

Dewan Pers mengusulkan Publishing Rights sebagai sarana yang bisa memaksa platform rakasasa digital memberikan sejumlah uang pada media TV untuk memastikan konten berkualitas untuk masyarakat tetap terjaga. Usulan ini telah didukung pemerintah dengan menerbitkan Perpres No. 32/2024, yang mencerminkan tiga strategi Gramsci, yaitu: (1) Strategi Perang Posisi (War Position).

Bagi Gramsci Publishing Rights adalah bentuk perang posisi dengan merebut kembali kontrol ekonomi atas produksi dan distribusi informasi. Ketua Dewan Pers Azyumardi Azra menegaskan: "Mereka meraup triliunan dari konten berita kita. Sepantasnya berbagi!" (2) Strategi Intelektual Organik. Intelektual organik adalah pihak yang mampu mengartikulasikan kepentingan kelas subordinat dan membangun kesadaran alternatif seperti Dewan Pers dan Komite Publisher yang dibentuk melalui Perpres No. 32/2024 (3) Strategi Blok Historis Baru, yaitu aliansi berbagai kekuatan sosial yang berkepentingan mengubah status quo, seperti aliansi media (TV, cetak, digital lokal), dukungan negara, dan partisipasi publik.

Pembelajaran Global: Dialektika Resistensi dan Kooptasi

Pengalaman negara lain menunjukkan kompleksitas membangun counter-hegemony terhadap platform digital raksasa. Australia dengan News Media Bargaining Code berhasil memaksa Google membayar AU$150 juta dan Meta AU$70 juta per tahun. Keberhasilan ini menunjukkan bahwa koordinasi antara negara dan industri media dapat mengimbangi kekuatan platform digital.

Read Entire Article
Prestasi | | | |