Fimela.com, Jakarta Ada masa ketika kebosanan menjadi ruang jeda nan berharga untuk merenung, menulis, atau sekadar membiarkan pikiran berkelana. Hanya saja, situasi berubah, dan di era internet yang sangat dinamis ini, kebosanan sepertinya berubah menjadi sesuatu yang menakutkan. Bukan lagi jeda alami, melainkan musuh yang seakan harus segera diusir dengan notifikasi, video singkat, atau guliran (scrolling) media sosial tanpa henti.
Fenomena ini bisa disebut Fear of Boredom (FOBO). Istilah ini menggambarkan kondisi ketika seseorang begitu takut dengan rasa bosan hingga terus mengisi setiap detik dengan distraksi digital. FOBO membuat kita tidak nyaman berada dalam keheningan, seolah hening adalah kekosongan yang mengancam. Bagi generasi sibuk, ini menjadi ironi besar: hidup dipenuhi aktivitas, tapi jiwa justru terasa kian lelah.
Media Sosial Seakan Menjadi Obat dari Rasa Bosan
FOBO bukan sekadar istilah populer, melainkan fenomena yang sudah diteliti.
Studi dari University of Toronto menemukan bahwa penggunaan media digital sebagai “obat” kebosanan justru membuat kebosanan semakin intens. Alasannya, perhatian yang terbagi dan ekspektasi stimulasi terus meningkat, sehingga otak sulit merasakan kepuasan.
Penelitian lain berjudul “More boring, more craving for smartphone use?” menjelaskan bahwa individu yang merasa bosan menunjukkan dorongan kuat untuk segera menggunakan ponsel.
Dorongan ini semakin kuat ketika mereka juga mengalami Fear of Missing Out (FoMO), atau ketakutan tertinggal informasi. FOBO dan FoMO bekerja bak kembar identik: satu takut kosong, satu takut tertinggal.
Di India, sebuah survei terhadap 505 remaja usia 12–17 tahun selama pandemi menunjukkan korelasi yang signifikan antara stres psikologis, kecanduan media sosial, FoMO, dan kecenderungan bosan (boredom proneness). Data ini memperlihatkan bagaimana generasi muda semakin sulit hidup tanpa layar.
Kebosanan dan rasa cemas “kehilangan sesuatu di luar sana” bersatu membentuk siklus adiktif yang merugikan kesehatan mental.
Rasa Bosan Hingga Perilaku Kompulsif
Sahabat Fimela, FOBO bukan sekadar keinginan untuk selalu aktif. Lebih dalam dari itu, FOBO adalah ketakutan akan hening, takut kehilangan kesempatan, bahkan takut dianggap tidak produktif.
Ketika otak dipaksa selalu “on”, dampaknya terasa nyata. Tidur terganggu, konsentrasi menurun, pikiran cepat lelah, dan hubungan dengan orang sekitar terasa dangkal.
Studi “Psychological distress and internet addiction following the COVID-19 outbreak” menegaskan bahwa kecenderungan bosan dan FoMO menjadi mediator penting antara stres dan kecanduan internet. Artinya, rasa bosan yang tak tertahankan bisa mendorong perilaku kompulsif, hingga akhirnya menjebak kita dalam kecanduan.
Lebih jauh, kondisi ini berpotensi menciptakan generasi yang sulit berdiam diri, tidak terbiasa refleksi, dan cepat cemas saat tidak ada stimulus. Padahal, justru dalam keheninganlah sering kali lahir ide, solusi, dan ketenangan batin.
Mengapa Generasi Sibuk Rentan Mengalami FOBO?
Generasi modern hidup di tengah tuntutan ganda: bekerja keras, tetap produktif, sekaligus terus mengikuti arus informasi yang deras. FOBO tumbuh subur, salah satunya, karena “kesibukan” dianggap identik dengan “berharga”. Hening atau jeda justru dipandang sia-sia.
Dalam ritme yang padat, gadget menjadi penghibur instan. Saat lelah bekerja, kita membuka media sosial.
Saat menunggu, kita menggulir layar. Bahkan sebelum tidur, otak masih dijejali konten. Lama-kelamaan, kita kehilangan keberanian untuk duduk dalam diam tanpa distraksi.
Akibatnya, kesibukan tidak lagi murni berasal dari aktivitas nyata, tetapi juga dari ilusi kesibukan digital.
FOBO pun menjelma sebagai teman tak kasat mata yang selalu berbisik: “Jangan berhenti, jangan diam, ada yang bisa kamu lewatkan.”
Jalan Keluar: Belajar Menerima dan Menikmati Kebosanan
Berhadapan dengan FOBO tidak berarti kita harus meninggalkan teknologi. Solusinya justru sederhana: mengatur ulang hubungan dengan digital. Sahabat Fimela, beberapa praktik bisa kita coba.
Pertama, tetapkan zona bebas gadget di rumah. Misalnya, meja makan atau kamar tidur hanya untuk interaksi nyata atau istirahat.
Kedua, kurasi notifikasi dan aplikasi. Tidak semua pesan harus segera dijawab, tidak semua platform membawa manfaat.
Ketiga, praktikkan monotasking — fokus pada satu hal saja. Ini bukan hanya meredam distraksi, tapi juga melatih otak untuk merasa cukup.
Selain itu, digital detox secara berkala bisa menjadi terapi kecil. Studi membuktikan bahwa bahkan hanya tujuh hari tanpa media sosial mampu menurunkan FoMO dan meningkatkan kesejahteraan mental. Jika tujuh hari terasa berat, mulailah dari beberapa jam di akhir pekan.
Digital Slow Living: Napas Baru untuk Generasi Sibuk
Salah satu pendekatan yang bisa membantu mengatasi FOBO adalah Digital Slow Living. Konsep ini tidak menolak teknologi, melainkan menekankan kesadaran: kapan perlu terhubung, kapan harus lepas.
Sebuah studi menunjukkan bahwa mengurangi waktu layar hingga maksimal dua jam per hari selama tiga minggu berdampak signifikan: gejala depresi menurun, stres berkurang, dan kualitas tidur membaik.
Program digital detox juga efektif menurunkan gejala electronic screen syndrome pada siswa, sekaligus meningkatkan konsentrasi.
Digital Slow Living juga mengajak kita untuk lebih sering terhubung dengan alam.
Duduk di taman, berjalan kaki tanpa ponsel, atau sekadar menatap langit bisa memberi ruang pemulihan alami yang sulit digantikan oleh layar.
Dalam momen sederhana itu, otak mendapat kesempatan untuk beristirahat, memproses pengalaman, dan menemukan kedamaian.
Generasi sibuk memang sulit lepas dari FOBO. Akan tetapi, ketakutan terhadap kebosanan bisa dilatih. Dengan memberi izin pada diri sendiri untuk diam, kita belajar bahwa kebosanan bukan musuh, melainkan pintu menuju kreativitas dan ketenangan.
Hidup yang penuh makna bukan berarti selalu terhubung, melainkan tahu kapan harus hadir sepenuhnya.
Saat kita berani menutup layar dan menikmati ruang kosong, kita menemukan kembali kendali yang sempat hilang. Bukan teknologi yang menguasai kita, tapi kitalah yang memilih bagaimana menggunakannya.
Keberanian untuk menerima dan menyikapi rasa bosan dengan bijak adalah keberanian untuk hidup. Dan dalam keberanian itu, tersimpan kebebasan yang sejati: kebebasan untuk menjalani hidup di masa kini, merasa cukup, dan benar-benar menikmati kehidupan yang kita miliki.
Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.