loading...
Kusfiardi, Analis Ekonomi Politik dan Co-Founder FINE Institute. Foto/Ist
Kusfiardi
Analis Ekonomi Politik dan Co-Founder FINE Institute
LIMA tahun setelah beroperasi, proyek Kereta Cepat Jakarta–Bandung (KCJB) yang digadang sebagai simbol modernisasi kini menghadapi ujian finansial yang serius. Biaya yang terus membengkak, perubahan struktur pembiayaan, dan sejumlah kebijakan penjaminan fiskal membuat publik kembali mempertanyakan.
Sejauh mana proyek ini benar-benar berdiri di atas prinsip business to business tanpa membebani negara?
Ambisi Infrastruktur
Gagasan pembangunan kereta cepat muncul sejak 2011 sebagai bagian dari agenda konektivitas Jawa Barat. Pemerintah memutuskan menggandeng China melalui skema BUMN joint venture melibatkan PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC), dengan komposisi 60 persen saham dimiliki konsorsium Indonesia (PT Pilar Sinergi BUMN Indonesia/PSBI) dan 40 persen oleh konsorsium China Railway International.
Skema ini awalnya disebut “murni B2B”, tanpa dana dan jaminan pemerintah. Namun sejak awal, risiko fiskal tersembunyi sudah tampak dari lonjakan nilai proyek. Berawal dari 5,1 miliar dolar AS menjadi lebih dari 7,3 miliar dolar.
Ketika pembengkakan biaya terjadi, BUMN pemegang saham utama seperti PT KAI dipaksa menambah ekuitas melalui pinjaman. Tindakan yang pada akhirnya menggerus batas antara tanggung jawab korporasi dan negara.
Pergeseran Regulasi
Untuk menopang keberlanjutan proyek, Kementerian Keuangan mengeluarkan sejumlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK) sejak 2015 hingga 2024. Pada tahap awal, regulasi ini hanya mengatur tata cara penyertaan modal dan investasi BUMN. Namun seiring meningkatnya tekanan pembiayaan, arah kebijakan bergeser.