Lingkungan Kerja Toxic, Tanda-Tanda dan Cara Menghadapinya

6 hours ago 3

Fimela.com, Jakarta Lingkungan kerja toxic adalah kondisi di mana perilaku negatif seperti manipulasi, perundungan, teriakan, hingga diskriminasi sudah menjadi bagian dari budaya institusi. Situasi ini membuat produktivitas menurun, kepercayaan antar pegawai hilang, stres meningkat, serta muncul konflik internal. Lingkungan seperti ini menciptakan rasa tidak aman secara psikologis, di mana karyawan merasa takut untuk berbicara, menyampaikan ide, atau sekadar menjadi diri sendiri di tempat kerja.

Melansir dari themuse.com kondisi ini bisa berdampak serius pada kesehatan mental, mulai dari kecemasan hingga depresi. Beberapa karyawan mungkin sampai menangis sebelum berangkat kerja karena merasa terjebak dan tidak sanggup menghadapi tekanan yang ada, meski tetap membutuhkan pekerjaan tersebut. Ada pula yang terjebak dalam pola people-pleasing, berusaha keras melampaui ekspektasi meski tak dihargai, yang akhirnya berujung pada kelelahan mental atau burnout.

Tidak selalu mudah bagi kita untuk mengenali lingkungan kerja yang toxic, apalagi jika sudah terbiasa atau melihat orang lain mampu bertahan. Namun, memahami tanda-tanda umumnya bisa membantu menilai apakah tempat kerja yang kita jalani benar-benar sehat atau justru merugikan.

Berikut beberapa tanda yang perlu Sahabat Fimela perhatikan:

1. Tidak ada batasan jelas dalam bekerja

Lingkungan kerja toxic seringkali mengabaikan batasan sehat antara pekerjaan dan kehidupan pribadi. Karyawan didorong untuk selalu siap, entah diminta lembur hingga larut malam atau tetap merespons pesan kerja di akhir pekan. Jika sejak proses rekrutmen sudah ada tanda-tanda seperti tugas mendadak menjelang akhir pekan atau email yang harus dijawab di luar jam kerja, itu bisa jadi sinyal bahaya.

2. Kurangnya rasa saling percaya

Kurangnya kepercayaan antar pegawai menjadi ciri kuat lingkungan kerja toxic. Hal ini bisa terlihat dari atasan yang terlalu sering memantau, memberi instruksi berlebihan, atau melakukan micromanagement. Kondisi seperti ini bukan hanya menurunkan performa, tapi juga dapat memperburuk rasa tidak percaya diri karyawan.

3. Tidak ada ruang untuk berbuat salah

Budaya kerja yang penuh tekanan sering membuat kesalahan kecil dianggap besar. Alih-alih dijadikan kesempatan untuk belajar, setiap kekeliruan langsung disalahkan dan dihukum. Akibatnya, karyawan merasa tertekan dan takut berkembang karena khawatir setiap langkahnya diawasi.

4. Tidak ada dukungan untuk perkembangan karyawan

Di lingkungan kerja toxic, karyawan sering dibiarkan berjuang sendiri tanpa bimbingan atau dukungan untuk berkembang. Kurangnya mentorship dan arahan membuat banyak orang harus mencari jalan sendiri, dan kondisi ini semakin parah di era kerja virtual karena hubungan dengan atasan maupun tim jadi lebih mudah terputus.

5. Sering merasa dimanipulasi

Salah satu tanda lingkungan kerja toxic adalah ketika karyawan sering mengalami gaslighting. Situasi ini terjadi saat seseorang membuatmu meragukan perasaan, persepsi, atau bahkan kewarasanmu sendiri.

Misalnya, manajer memberi instruksi jelas tentang tujuan dan cara mengerjakan sebuah proyek, tetapi saat hasilnya ditinjau, ia justru mempertanyakan metode yang digunakan dan mengubah tujuan seolah-olah tidak pernah memberikan arahan sebelumnya. Akibatnya, tim merasa tidak percaya diri dengan kemampuan mereka, hingga lama-kelamaan muncul rasa takut dan enggan bekerja di tim tersebut.

6. Sering mengalami keluhan fisik karena tekanan kerja

Di lingkungan kerja toxic, stres sering berujung pada gejala fisik yang nyata. Tubuh dan pikiran seolah terus berada dalam kondisi siaga, seperti berada pada mode fight or flight yang berkepanjangan. Jika hal ini dibiarkan, kesehatan fisik bisa terganggu dalam jangka panjang. Gejala yang kerap muncul antara lain masalah pencernaan, gangguan tidur, kelelahan, nyeri tubuh, hingga serangan panik.

Menentukan langkah di lingkungan kerja toxic

Sekarang setelah kamu tahu seperti apa lingkungan kerja toxic, saatnya memutuskan bagaimana cara menghadapinya. Pada dasarnya, ada dua pilihan: bertahan sambil mencari cara menghadapi situasinya, atau memutuskan untuk keluar. Tentu, keputusan ini tidak selalu mudah. Ada banyak pertimbangan yang membuat seseorang harus tetap bertahan, misalnya alasan finansial, izin tinggal, terbatasnya peluang kerja di bidang tertentu, atau manfaat dari perusahaan seperti fleksibilitas kerja jarak jauh atau tunjangan anak yang sangat dibutuhkan. 

Selain itu, penting juga untuk merebut kembali kendali atas diri sendiri. Disarankan agar kamu merefleksi diri dengan bertanya: bagaimana biasanya kamu merespons perilaku toxic? Apa peran yang bisa kamu ambil untuk mengubah situasi? Dan apa yang sebenarnya menghalangimu untuk pergi? 

Konsultasi dengan terapis juga bisa membantu memahami dampak lingkungan toxic terhadap dirimu sekaligus membekali strategi melindungi diri ke depannya. Misalnya, ada yang baru menyadari kesulitan membuat batasan kerja karena pengalaman buruk di pekerjaan sebelumnya. Kamu juga dapat bertukar cerita dengan teman-teman terdekat agar mengetahui lebih banyak pandangan mengenai hal ini.

Penulis: Alyaa Hasna Hunafa

Follow Official WhatsApp Channel Fimela.com untuk mendapatkan artikel-artikel terkini di sini.

  • Alyaa Hasna Hunafa
  • Anisha Saktian Putri

    Editor

    Anisha Saktian Putri
Read Entire Article
Prestasi | | | |