loading...
Regulasi ketat Partai Komunis China telah membuat pasar saham China tertekan. Foto/Ilustrasi Kyodo
JAKARTA - Pasar saham China tengah menunjukkan tren yang ganjil sekaligus konsisten: harga saham cenderung turun semalam, bukan karena guncangan makroekonomi atau laporan laba perusahaan, melainkan akibat hilangnya kepercayaan investor. Fenomena ini, yang diungkap dalam studi terbaru peneliti Universitas Peking, bukan sekadar anomali teknis, tapi mencerminkan cacat struktural yang lebih dalam dalam arsitektur ekonomi dan regulasi China.
Pusat dari persoalan ini adalah aturan T+1, yakni kebijakan yang melarang investor menjual saham pada hari yang sama setelah mereka membelinya. Aturan ini pada awalnya dimaksudkan untuk melindungi investor ritel dari eksploitasi algoritmik dan spekulasi berlebihan. Namun, aturan ini justru menciptakan iklim ketakutan, ketidakjelasan, dan inefisiensi.
Mengutip dari Mizzima, Selasa (19/8/2025), aturan T+1 memperbesar asimetri informasi, terutama di pasar yang didominasi investor ritel tanpa akses pada analisis dan perlindungan setingkat institusi. Karena tidak bisa keluar dari posisi dengan cepat, para trader enggan membeli saham menjelang penutupan, khawatir terjebak dalam posisi yang memburuk semalaman.
Baca Juga: Aktivitas Militer China di Selat Tsushima Picu Kekhawatiran Jepang
Perilaku ini menekan harga penutupan dan melahirkan pola penurunan berulang. Alhasil, pasar digerakkan bukan oleh fundamental, melainkan oleh sentimen dan kecurigaan—ekosistem rapuh di mana ketidakpercayaan menjadi lingkaran setan.
Fenomena ini bukan sekadar kegagalan teknis; ia mencerminkan filosofi ekonomi Partai Komunis China (PKC) yang lebih luas, yang menempatkan kendali di atas transparansi, intervensi di atas otonomi pasar, dan proteksionisme di atas kedalaman institusional.