Review Buku Novel The Chibineko Kitchen

2 weeks ago 10

Judul: The Chibineko Kitchen

Penulis: Yuta Takahashi

Penerjemah: Ribeka Ota, Yuli Pritania

Penyunting: Yuli Pritania

Penvelaras aksara: Nuraini S. Dhiwangkara

Penata aksara: Alif Mustofa

Ilustrator sampul dan isi: Omorphia

Desainer grafis: @platypo

Ikon ilustrasi isi: Freepik

Cetakan ke-1, Agustus 2025

***

"Karena ini satu-satunya kehidupanku, aku tidak mau menyesal." (hlm. 20)

Anak yang tak berguna malah bertahan hidup. Dirinya yang tak punya impian malah selamat. Dia tersiksa karena perasaan seperti itu. (hlm. 34)

Orang mati hanya memakan aroma. Dupa dibakar di depan altar Buddha karena wangi itu menjadi makanan bagi orang mati. (hlm. 43)

"Meski cuma sekali ini saja, rasanya tetap seperti keajaiban, bisa melihat satu sama lain lagi seperti sekarang." (hlm. 44)

Dalam hidup, ada hal-hal yang tak bisa ditarik kembali. (hlm. 76)

***

Chibineko Kitchen, sebuah restoran sederhana yang menyajikan hidangan penuh kehangatan. Hanya saja, ada sesuatu yang istimewa dari tempat ini. Restoran ini menawarkan menu istimewa bernama kagezen, atau hidangan kenangan, yaitu sebuah hidangan yang memungkinkan seseorang bertemu kembali dengan orang tercinta yang telah meninggal dunia. Pertemuan ini hanya berlangsung beberapa menit, tepat sampai makanan yang tersaji mendingin.

Magisnya mungkin tidak terletak pada efek dramatis yang berlebihan, melainkan pada kesederhanaan pertemuan terakhir itu sendiri. Membayangkan bisa berbicara kembali dengan seseorang yang telah pergi selamanya, meski hanya sebentar sudah cukup untuk menghadirkan ketenangan sendiri.

Novel ini terdiri dari rangkaian kisah yang saling terhubung, mirip dengan karya-karya Jepang lain seperti Before the Coffee Gets Cold atau What You are Looking For is In The Library.

Salah satu kisah yang membekas adalah tentang Kotoko, seorang gadis muda yang mendapat kesempatan terakhir untuk bertemu dengan kakaknya. Sang kakak meninggal saat menyelamatkannya dari sebuah kecelakaan, dan Kotoko membawa rasa bersalah yang begitu dalam.

Melalui hidangan kenangan, ia bisa menyampaikan ucapan terima kasih dan perasaan yang selama ini membebaninya. Adegan ini sederhana, tetapi penuh kekuatan emosional.

Ada pula kisah seorang anak sekolah yang menyesali kata-kata kasarnya kepada seorang teman perempuan. Sebelum sempat meminta maaf, temannya meninggal. Kesempatan melalui hidangan kenangan menjadi jalan untuk menebus penyesalan itu.

Kisah-kisah ini mungkin terasa singkat, tetapi justru di situlah letak keindahannya. Setiap pertemuan bukanlah tentang menyelesaikan semua masalah, melainkan tentang menghargai waktu singkat yang tersisa dan memberi ruang bagi perasaan yang belum sempat terucap.

Keberadaan seekor kucing kecil dalam novel ini pun menjadi bagian penting dari restoran ini. Meski tampak hanya sebagai penghias cerita, kucing ini sesungguhnya memegang peran simbolis. Kehadirannya seakan menjadi penghubung antara dunia yang nyata dan dunia yang penuh kenangan.

Salah satu kekuatan terbesar novel ini adalah bagaimana makanan dijadikan medium untuk mengenang dan merayakan kehidupan. Kita semua tahu, makanan memiliki kekuatan unik untuk membawa kembali ingatan. Aroma, rasa, atau bahkan sekadar melihat hidangan tertentu bisa membawa kita kembali ke masa lalu.

Dalam The Chibineko Kitchen, makanan tidak hanya menjadi pengisi perut, tetapi juga pengisi hati. Suatu hidangan bisa menjadi semacam medium yang menyatukan orang hidup dengan mereka yang sudah pergi, bahkan hanya untuk sejenak.

Membaca novel ini ibarat menelusuri jalan berliku antara tawa kecil dan tangis haru. Ada momen yang lucu, terutama dengan tingkah laku kucing, namun juga ada momen yang membuat hati kita terasa berat.

Kehilangan adalah bagian tak terelakkan dari kehidupan. Kita semua tahu bahwa semua manusia pada akhirnya akan berpulang.

Mnerima kenyataan ditinggalkan oleh orang yang kita cintai adalah hal yang amat sulit. Novel ini dengan lembut mengajarkan bahwa kesedihan tidak bisa dihapus, tetapi bisa dipeluk. Bahwa penyesalan memang menyakitkan, tetapi selalu ada cara untuk menemukan kedamaian.

Bagi Sahabat Fimela yang menyukai sastra Jepang atau penyuka healing fiction, novel ini bisa masuk menjadi pilihan bacaan berikutnya. Meskipun ada kesan repetitif, The Chibineko Kitchen tetap memiliki pesona tersendiri. Kehadiran makanan sebagai inti cerita dan kucing kecil yang manis membuat novel ini terasa berbeda dan segar.

Di balik kisah fantasi yang ditawarkan, ada pesan sederhana tapi mendalam: hidup ini singkat. Jangan biarkan kata-kata baik, rasa terima kasih, atau permintaan maaf menunggu terlalu lama untuk diucapkan. Kita tidak pernah tahu kapan kesempatan terakhir itu datang.

Sahabat Fimela, jika kamu mencari sebuah novel yang mampu membuatmu tersenyum hangat sekaligus meneteskan air mata, buku ini patut masuk dalam daftar bacaanmu.

Siapkan secangkir teh hangat, sepotong kue manis, dan mungkin beberapa tisu di sampingmu. Karena setiap halaman dalam novel ini akan mengajakmu menyelami kenangan, kehilangan, serta cinta yang tak pernah benar-benar hilang.

Novel ini tidak hanya bercerita tentang makanan, kucing, dan kehilangan, melainkan juga tentang bagaimana kita menemukan kedamaian melalui kenangan.

Membacanya adalah pengalaman yang akan membuatmu lebih menghargai setiap detik yang kamu miliki bersama orang-orang terdekatmu. The Chibineko Kitchen menjadi semacam pengingat lembut bahwa meski perpisahan itu menyakitkan, kenangan dan cinta akan selalu hidup di hati kita.

Read Entire Article
Prestasi | | | |