Spiritualitas Baru: Santri Digital dan Jalan Sunyi di Dunia Maya

8 hours ago 6

loading...

Mubasyier Fatah
Bendahara Umum Pimpinan Pusat Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU), Entrepreneur Bidang Teknologi Informasi dan Praktisi Keamanan Siber

Internet telah mengubah banyak hal dari cara kita bekerja, berinteraksi, bahkan berdoa. Dunia maya kini menjadi ruang baru bagi ekspresi keagamaan dan pencarian spiritual.

Di tengah derasnya arus informasi, muncul satu fenomena menarik: santri digital — generasi muda yang memadukan pengetahuan agama dan literasi teknologi.

Mereka hadir bukan hanya untuk berdakwah, tetapi juga membangun spiritualitas baru yang hidup di antara algoritma dan kesunyian dunia maya.

Ketika Zikir Bertemu Teknologi

Perkembangan teknologi digital membuat batas antara dunia nyata dan dunia maya semakin kabur. Bagi banyak kalangan, ruang digital bukan sekadar tempat hiburan atau pekerjaan, melainkan juga tempat perjumpaan spiritual.

Dulu, zikir dilakukan di surau, pengajian berlangsung di langgar, dan tafsir disampaikan di mimbar. Kini, semua itu bisa terjadi di layar ponsel. Pesantren-pesantren di seluruh Indonesia mulai membuka kanal YouTube, mengelola akun TikTok, hingga membuat kelas tafsir daring.

Fenomena ini menandai transformasi besar: agama tidak lagi eksklusif terhadap ruang fisik. Ia bisa hadir di platform mana pun, dari aplikasi streaming hingga ruang obrolan daring. Bagi generasi muda NU dan Muhammadiyah, media sosial bukan ancaman, melainkan ladang dakwah yang baru.

Santri digital muncul sebagai wajah baru dari semangat tabligh dan tafaqquh fiddin (pendalaman ilmu agama). Mereka bukan hanya menyebarkan ceramah, tetapi juga menghadirkan suara keislaman yang moderat, reflektif, dan ramah terhadap modernitas.

Dari Pesantren ke Ruang Digital

Transformasi digital pesantren dimulai perlahan. Banyak kiai muda dan ustaz generasi milenial melihat potensi besar media sosial dalam pendidikan keagamaan. Di masa pandemi COVID-19, hal ini semakin nyata: pengajian virtual, tadarus daring, hingga majelis taklim di Zoom menjadi bagian dari keseharian umat.

Pesantren-pesantren besar seperti Tebuireng, Lirboyo, dan Gontor kini memiliki kanal resmi di YouTube dan TikTok dengan ratusan ribu pengikut. Kiai muda seperti Gus Baha, Gus Miftah, hingga Habib Husein Ja’far menjadi figur penting dalam dunia digital.

Mereka tampil santai, berbicara dengan bahasa yang dekat dengan anak muda, namun tetap mengandung kedalaman spiritual dan intelektual. Inilah model dakwah baru: ringan tapi bermakna, akrab tapi berakar.

Fenomena santri digital menunjukkan bahwa agama mampu beradaptasi dengan zaman tanpa kehilangan substansi. Tradisi pesantren yang dikenal dengan kesederhanaan dan keheningan kini menjelma dalam bentuk baru: kesunyian di tengah bisingnya dunia maya.

Kesunyian yang Terjaga di Tengah Bising Dunia Maya

Media sosial dikenal sebagai ruang yang bising — tempat opini berseliweran, komentar saling bertabrakan, dan ego manusia kerap menguasai percakapan. Namun, di balik kebisingan itu, ada sekelompok orang yang mencari makna, bukan sensasi.

Para santri digital justru menemukan “jalan sunyi” di ruang virtual: kesunyian yang tidak berarti diam, melainkan kesadaran untuk menjaga hati di tengah hiruk pikuk dunia daring.

Mereka mengelola akun bukan untuk popularitas, tetapi untuk menebar hikmah. Setiap unggahan menjadi bentuk dzikir digital — usaha menghadirkan nilai spiritual dalam setiap klik dan gulir layar.

Fenomena ini menarik karena menghadirkan dimensi baru dalam keagamaan: spiritualitas yang lahir dari kesadaran digital.

Seorang santri muda dari Ponpes Gontor misalnya, menulis di blog pribadinya:

“Saya menemukan zikir dalam setiap jeda ketika mengetik. Dunia maya memang ramai, tapi hati bisa tetap sunyi jika kita tahu kepada siapa kita terhubung.”

Agama dan Algoritma: Pertemuan yang Tak Terelakkan

Pertanyaan besar yang muncul adalah: apakah spiritualitas bisa hidup dalam dunia yang dikendalikan oleh algoritma?

Read Entire Article
Prestasi | | | |