loading...
Selamat Ginting, Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional (Unas). Foto/Dok. SindoNews
Selamat Ginting
Pengamat Politik dan Militer Universitas Nasional (Unas)
Pendahuluan
DALAM politik Indonesia, tidak ada kawan dan lawan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang terus berubah. Fenomena ini kembali terlihat dalam hubungan antara Presiden terpilih 2024, Jenderal Hor (Purn) Prabowo Subianto, dan kubu Dewan Kehormatan Perwira (DKP), tokoh-tokoh militer yang dulu memeriksanya tahun 1998.
Kini, kubu DKP dan Luhut Binsar Panjaitan (LBP) berada di kubu pemerintahan Prabowo Subianto. Bahkan, beberapa tokoh dari DKP dan keluarganya turut mendapatkan posisi penting di lingkaran kekuasaan. Terbaru, Jenderal Hor (Purn) Djamari Chaniago, Rabu (17/9/2025) siang dilantik menjadi menteri Koordinator Politik dan Keamanan (Menko Polkam).
DKP 1998 dibentuk Panglima ABRI Jenderal Wiranto (Akmil 1968). Dipimpin Jenderal Subagyo HS (Akmil 1970), Wakil Letjen Fachrul Razi (Akmil 1970), dan Sekretaris Letjen Djamari Chaniago (Akmil 1971). Anggotanya: Letjen Yusuf Kartanegara (Akmil 1966), Letjen Arie J Kumaat (Akmil 1966), Letjen Agum Gumelar (1968), dan Letjen Susilo Bambang Yudhoyono (Akmil 1974). Lantas, bagaimana kita memahami fenomena ini?
Arena Rekonsiliasi, Bukan Konfrontasi
Sejarah politik Indonesia menunjukkan bahwa pertarungan politik jarang berakhir dengan permusuhan abadi. Alih-alih mempertahankan dendam atau garis ideologis yang keras, elite politik Indonesia cenderung memilih jalan rekonsiliasi dan kompromi. Ini bukan semata-mata karena “jiwa besar”, melainkan bagian dari kalkulasi politik untuk menjaga stabilitas dan kesinambungan kekuasaan.
Dalam hal ini, masuknya kubu DKP 1998 dan LBP ke lingkaran kekuasaan Prabowo, bisa dibaca sebagai bagian dari pola lama: realignment elite, di mana tokoh-tokoh kuat bersatu ketika kekuasaan berpindah tangan.